Perlahan Syaiful menoleh sambil sesunggukan. Air matanya diusap-usapnya dengan tangannya sendiri.
"Saya... Saya dimarahi Kang Udin..." katanya kemudian. Saya mafhum. Yang disebut Kang Udin oleh anak itu adalah ayah tirinya.
"Saya diomeli sebagai anak pemalas, Pak RT. Saya disuruh bekerja mencari uang ke kota..." lanjutnya.
"Padahal Pak RT sendiri tahu. Kang Udin pun selama menjadi suami Emak saya tidak pernah mau cari nafkah untuk keluarga. Saban hari kerjanya hanya luntang-lantung, dan tiduran...."
Mendengar celoteh Syaiful, saya hanya mampu menghela nafas.
Memang benar. Kang Udin, ayah tiri anak itu, selama tiga tahun memperistri Maisyaroh tidak jelas pekerjaannya.
Saya ikut gembira mendengarnya saat itu, tentu saja. Paling tidak keluarga Maisyaroh bakal mendapat penanggung jawab lagi sepeninggal Zainal. Demikian juga harta peninggalannya akan ada yang mengurusnya.
Selama hidupnya Zainal termasuk sukses usahanya. Sebagai tukang kredit, Zainal berhasil memiliki harta yang lumayan. Baik berupa tanah sawah, kebun, maupun rumah kontrakan di kota.
Hanya saja setelah meninggal dunia lantaran menderita penyakit gagal ginjal, secara perlahan-lahan harta peninggalannya satu per satu dijual oleh Maisyaroh.
Sepengetahuan saya, yang pertama dilegonya adalah mobil keluarga. Bisa jadi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan anak yang masih kecil-kecil sebanyak lima orang. Sementara usaha kridit Zainal praktis bangkrut. Karena tidak ada yang melanjutkannya.