Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

ABG Kampung "Zaman Now" pun Ternyata Sudah Melangkah Jauh

21 Oktober 2018   22:49 Diperbarui: 21 Oktober 2018   23:16 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: munsyipedia)

Dalam hidup ini, setiap orang pasti banyak menemui hal-hal yang tidak pernah diduga dari sebelumnya. Misalnya saja kita sudah merencanakan dengan begitu matangnya kalau besok hari kita akan pergi naik gunung (Bagi yang hobi naik gunung -- tentu saja). Segala kebutuhan yang biasa dibawa pun sudah dipersiapkan. Jadi besok pagi tinggal berangkat saja.

Akan tetapi baru saja besok paginya kita terbangun dari tidur, tiba-tiba ada kabar kalau salah seorang sanak saudara kita ada yang masuk rumah sakit. Malahan sampai dirawat di ruang gawat darurat lagi, karena menurut diagnosa dokter penyakit yang dideritanya sudah lumayan parah.

Apa boleh buat. Naik gunung pun menjadi gagal total. Kita lebih memprioritaskan untuk menjenguk saudara kita yang sedang dirawat di rumah sakit. Kalau tidak, jangan-jangan malaikat maut keburu menjemputnya, sementara kita tidak sempat untuk dapat bertemu untuk yang terahir kalinya.

Demikian juga dengan yang saya alami kemarin sore.

Sudah lama juga saya berniat untuk pergi ke kota Tasik. Tujuannya untuk mencari buku terbaru karya pengarang idola saya yang dirilis penerbit ternama. Sekalian mencari suasana baru setelah sekian lama hidup bagaikan katak dalam tempurung. Alias cukup lama tidak pernah bepergian jauh, dan hanya tinggal di seputar kampung saja.

Sebenarnya buku itu sudah lama diterbitkan tiga bulan yang lalu, sesuai surat elektronik pemberitahuan dari penerbit tersebut yang saya terima. Tapi berhubung baru beberapa hari lalu ada rejeki lebih,  kemarin sore juga rencana itu baru dapat terlaksana.

Sebagaimana biasanya apabila akan pergi ke kota yang jaraknya dari kampung saya sekitar 28 kilometer itu, saya harus dua kali naik kendaraan umum. Dari depan rumah naik Angdes (Angkutan pedesaan), minibus kecil bercat kuning, dan turun di terminal Ciawi.

Kemudian naik bus AKAP atawa Elf jurusan Tasik yang transit untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Dan bisa juga naik Angdes jurusan Ciawi-Tasik. Hanya saja kalau minibus warna kuning itu kurang diminati karena terlalu sering berhenti di sepanjang perjalanan. Untuk menaik-turunkan penumpang, tentu saja.

Niat untuk naik angkutan umum, ternyata batal juga. Karena saat menunggu angkutan pedesaan yang biasa melintas di depan rumah, saya melihat ada sebuah mobil inova warna silver dari arah jalan menurun di arah timur. Dan kalau tidak salah, mobil seperti itu yang berplat nomor Z sekian-sekian itu, ditambah dengan antena radio yang menjulang tinggi di belakangnya, tentulah kepunyaan keponakan jauh yang tinggal di kampung sebelah.

Saat mobil itu sudah mendekat klaksonnya dibunyikan. Lalu tepat di depan saya berdiri, mobil itu menepi, dan langsung berhenti. Kaca pintu depan sebelah kiri langsung terbuka. Benar saja. Pengendaranya keponakan jauh saya. Ia pun membuka pintu sebelah kanan, dan langsung turun menghampiri saya.

"Mang lagi apa?" tegurnya seraya bersalaman, dan mencium tangan saya.

"Nunggu Angdes. Mau ke Tasik. Kamu kapan dari Jakarta?"

Keponakan jauh saya itu sudah lama jadi mandor bangunan kepercayaan sebuah perusahaan pemborong di Jakarta. Untuk ukuran kampung kami, ia termasuk salah seorang anak muda yang sudah sukses juga kehidupannya.

"Kemarin sore. Kebetulan dapat cuti, " sahutnya. "Kalau mau ke Tasik, sudah bareng saja sama saya. Kebetulan saya juga mau ke sana."

Jadilah ahirnya saya dapat tumpangan gratis. Dan tidak perlu lagi turun di terminal Ciawi. Dari rumah, sreeeettt... langsung ke Tasikmalaya.

Sungguh. Padahal sama sekali saya tidak menduga bakal dapat tumpangan gratis sebelumnya.

Satu jam kemudian, tibalah kami di tempat tujuan. Dan tujuan utama kami adalah sebuah mall yang paling terkenal di kota yang berjuluk Kota Santri itu.

Karena memang hari libur, di pusat kota begitu ramainya manusia yang hilir-mudik berlalu-lalang. Terlebih lagi saat sudah mendekat ke arah mall. Sehingga mobil pun harus merayap perlahan.

Dan saat antri di pintu masuk, tetiba tiga anak perempuan ABG menghampiri mobil kami. Sambil mengetuk kaca, dengan genitnya ketiga anak usia remaja itu sepertinya memberi kode yang bagi saya sendiri tidak memahami apa maksudnya.

"Busyet! Ada juga di sini 'anak ayam'seperti di Jakarta," kata keponakan jauh saya sambil tertawa.

Saya pun jadi faham juga maksudnya. Lalu saya mencoba untuk memperhatikan anak-anak perempuan tersebut.

Astaghfirullaah... Kalau tak salah lihat, anak-anak itu dari desa tetangga kami. Tepatnya dari desa yang juga ibu kota kecamatan wilayah kami. Saya mengenalnya karena hampir setiap hari bertemu dengan mereka. Kebetulan Kebetulan saya aktif di sebuah lembaga pemberdayaan kemasyarakatan yang berkantor di desa tersebut. Saya sering melihat mereka saat berseragam putih-biru.

Apakah benar anak-anak itu sudah melangkah jauh dalam kehidupannya?

Entahlah. Saya tak mau berburuk sangka. Hanya saja naluri saya mengatakan, saya harus melakukan investigasi mengenai hal ini.

Maka dengan pertimbangan mereka takut mengenali saya, saya pun meminta keponakan jauh saya untuk menyambut kode anak-anak baru gede tersebut. Keponakan jauh saya pun setuju dengan rencana saya.

"Ditunggu di tempat parkir, ya?!" kata keponakan jauh saya sambil melajukan kembali mobilnya.

"Ikut dong, Oom!!!" teriak mereka. Tapi keponakan jauh saya tidak menanggapinya. Dan saat saya menoleh ke belakang, mereka ternyata mengikuti kami.

Wah.

Setibanya di tempat parkir, saya buru-buru turun. Langsung menuju pintu masuk mall. Sedangkan keponakan jauh saya masih duduk di depan kemudi.

Setelah berputar-putar hampir dua jam di dalam gerai penerbit buku, lewat telepon genggam keponakan jauh saya mengajak saya untuk bertemu lagi.

"Ditunggu di cafe," katanya.

"Masih bersama anak-anak itu?" tanya saya agak risih juga.

"Nggak. Tadi juga sesudah diberi uang jajan kami langsung berpisah" sahutnya.

Kemudian sambil menikmati cappucino keponakan jauh saya menceritakan kejadian yang tadi baru dialaminya.

Konon menurutnya, anak-anak ABG itu sepertinya pergaulannya sudah cukup jauh. Malahan, katanya, mereka pun tidak sungkan-sungkan mengajaknya untuk pergi ke hotel.

Astaghfirullah... Saya hanya bisa mengurut dada. Betapa anak-anak yang tinggal di pelosok desa pun sudah sedemikian jauh melangkah dalam hidupnya.

Padahal di desanya hampir di setiap sudut selalu ditemui ada majelis taklim. Demikian juga di setiap kampungnya terdapat pesantren, tempat mengaji anak-anak dan remaja. Bisa jadi anak-anak ABG tadi pun di kampungnya masih suka mengaji juga.

 Sungguh. Saya sama sekali tak menyangka dan tak menduga hal seperti itu bisa terjadi pada anak-anak ABG dari pelosok desa yang masih mengagungkan moral dan agama. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun