Sungguh. Saya sungguh-sungguh dihadapkan pada dua pilihan yang sulit untuk diputuskan. Apakah harus terus shalat berjamaah di mushola, tapi tanpa dapat khusyuk menunaikannya, atawa shalat sendirian di rumah dengan khusyuk, tapi harus kehilangan pahala yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang begitu besar nilainya?
Itulah masalahnya.
Setiap kali saya menunaikan shalat berjamaah di mushola, sejak akan menunaikan shalat sunat tahiyatul masjid, yakni menghormati tempat ibadat tersebut sebagaimana yang dianjurkan Rasul, kekhusyukan saya sudah mulai mendapat gangguan dari jamaah lain yang sudah terlebih dahulu berada di mushola. Mereka biasanya mengumandangkan shalawat hingga imam datang.Â
Bukan masalah membaca shalawatnya yang membuat saya tidak berkenan, melainkan suara mereka yang seperti sedang berlomba siapa yang paling mampu mencapai oktaf paling tinggi saja laiknya. Terutama anak-anak usia sekolah dasar. Selain bershalawat dengan suara berteriak, juga selalu saja sambil bercanda dengan sesamanya. Candaan mereka pun sampai ada yang sudah keterlaluan.Â
Mereka berlarian saling kejar. Sementara orang tua yang melihat mereka, tak seorang pun yang memperingatkan tingkah anak-anak yang gaduh iyu. Mereka begitu asyik dengan shalawatnya. Meskipun sampai ada ada di antara anak-anak itu yang hilir-mudik di depan saya yang sedang menunaikan shalat, para orang tua itu tetap saja tak seorang pun ada yang menghardiknya.
Demikian juga dengan sikap imam shalat sendiri selalu saja membuat hati saya menjadi ragu dibuatnya. Malahan terkadang saya berfikir kalau ibadat saya selain tidak sempurna, juga perasaan berdosa kian bertambah saja.
Betapa tidak, imam di mushola tempat saya shalat berjamaah selalu saja datang paling akhir ke mushola. Padahal jarak antara mushola dengan rumahnya paling hanya tiga langkah kaki orang dewasa saja saking dekatnya. Padahal imam shalat kami tersebut dalam tausyiahnya di depan jamaah majelis taklim seringkali mengingatkan untuk menunaikan shalat di awal waktu.Â
Sementara dirinya sendiri malah justru sebaliknya. Bahkan saya sendiri menduga jika para jamaah shalat yang mengumandangkan shalawat dengan lantangnya itu bukan untuk mendo'akan Rasul saw saja, melainkan memiliki tujuan ganda.Â
Bisa jadi secara tidak langsung mereka sedang memanggil imam agar segera berangkat ke mushola. Betapa tidak, kami semua selalu saja sudah cukup lama mendengar kumandang iqomah lewat pengeras suara dari masjid di sekitar yang berdekatan, Â imam pun baru muncul untuk memimpin shalat berjamaah.
Dalam shalat berjamah pun saya kerapkali merasa dosa saya kian bertambah saja. Bacaan surat Fatihah dan surat lainnya  yang dikumandangkan imam, selain tidak nyaman kedengarannya, karena sudah tanpa qira'at, ditambah lagi tanpa ada jeda dari satu ayat ke ayat yang lainnya saking cepatnya.
Demikian juga dalam gerakan-gerakan shalat pun bagi saya begitu susahnya untuk mengikuti kecepatan gerak imam. Sepertinya ibarat ayam yang sedang mematuk pakan saja jika bersujud pun saking cepatnya. Sepertinya kekhusyukan ibadah pun sudah dikesampingkannya. Dan sya menduga shalat bagi mam di mushola kami dianggap hanya sekedar ritual dalam keterpaksaan belaka.
Memang terbersit juga niat untuk ikut shalat berjamaah di masjid lain saja. Namun gunjingan tetangga pasti akan muncul juga. Mereka paling tidak akan menyangka saya sudah enggan bersosialisasi dengan tetangga di sekitar. Â Dan menuduh saya sebagai orang yang sombong, juga besar kepala. Sementara bila shalat munfaridz di rumah, memang saya selalu merasakan kusyuk juga. Namun walau begitu, sudah pasti saya akan kehilangan pahala yang berlipat ganda.
Jadi harus bagaimana saya menyikapinya? Rasanya saya begitu berat menghadapi dilema seperti ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H