Mendengar seloroh orang-orang, Kang Ojak pada mulanya hanya tertawa saja. Sementara Teh Ela sama sekali tidak menanggapinya. Teh Ela seolah tidak mendengar omongan mereka. Dirinya malah sibuk melayani orang-orang yang berbelanja,
Bagaimana pun Kang Ojak sadar diri. Antara dirinya dengan Teh Ela ibarat bumi dan langit. Keadaan Kang Ojak yang kesehariannya hanyalah sebagai buruh tani, merasa tak sebanding dengan Teh Ela yang punya warung paling besar di kampungnya.Â
Selain itu, Teh Ela pun termasuk orang kaya yang memiliki beberapa hektar sawah dan ladang. Baik warisan dari orang tuanya maupun hasil usaha bersama almarhum suaminya.
Begitu juga dengan rupa dan penampilan dirinya, Kang Ojak merasa betapa bagaikan Astrajingga, itu tuh anak Lurah Semar Badranaya dalam cerita wayang golek yang sering ditontonnya dengan Dewi Subadra istrinya Arjuna saja laiknya.
Hanya saja entah kenapa, entah karena begitu seringnya teman sekampungnya menggoda dirinya, entah memang karena hati kecilnya Kang Ojak sendiri lama-lama menjadi terusik juga saking seringnya bertemu dengan Teh Ela, tokh tumbuhnya rasa cinta karena seringnya bersua antara keduanya, bisa jadi berlaku juga dalam diri Kang Ojak pada ahirnya.
Betapa Kang Ojak merasakan sikap Teh Ela yang selalu ramah terhadap dirinya setiap kali berbelanja di warungnya, begitu tulus, dan tidak pernah merasa diri sebagai perempuan yang memiliki wajah rupawan maupun sebagai orang kaya sama sekali. Bahkan Kang Ojak merasakan Teh Ela menganggap dirinya sebagai seorang manusia yang sepatutnya memiliki harga diri.
Setiap kali Teh Ela menyerahkan barang belanjaan kepada dirinya, selalu saja dibarengi senyum dan tatap mata yang ramah. Terlebih lagi apabila kebetulan Kang Ojak hendak berbelanja, dan kebetulan Teh Ela baru pulang berbelanja dari pasar kecamatan, sementara barang-barang belanjaannya masih bertumpuk di pinggir jalan, dengan senang hati Kang Ojak pun membantu mengangkati karung maupun kardus besar untuk dipindahkan ke dalam warung, Teh Ela selalu saja mengucapkan, "Maaf sudah merepotkan. Dan terima kasih banyak atas bantuannya."
Hanya saja setiap kali Teh Ela akan memberikan uang alakadarnya, maupun makanan, atawa rokok sebagai bentuk balas jasa atas bantuannya, Kang Ojak selalu menolaknya.
"Hanya begitu saja, kenapa mesti diberi upah segala. Saling menolong dengan sesama adalah kewajiban setiap orang bukan?" Begitu kata Kang Ojak setiap menolak pemberian Teh Ela kepada dirinya.
Karena memang Teh Ela pun tahu kalau Kang Ojak setiap harinya bekerja sebagai buruh tani, maka ia pun tidak sungkan-sungkan lagi untuk meminta Kang Ojak untuk mengerjakan setiap tanah pertanian miliknya.Â
Baik di sawah maupun di kebunnya. Dengan senang hati Kang Ojak pun menerima permintaan Teh Ela. Dan meskipun awalnya Kang Ojak selalu menolak upah atas pekerjaannya tersebut, namun karena Teh Ela terus memaksanya, tokh ahirnya diterima juga. Terlebih lagi Teh Ela selalu mengancam Kang Ojak, kalau tidak mau menerima upah pemberiannya, maka Teh Ela tidak akan menyuruh Kang Ojak lagi.