Ambruknya tembok pematang saluran irigasi di blok Sawah Darat, menjadi buah bibir hampir seluruh warga desa. Betapa tidak. Belum setahun pembangunan saluran irigasi itu, sekarang sudah rusak lagi. Dan telunjuk mereka pun langsung mengarah pada hidung kepala desa.
Kepala desa tidak becus membentuk TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) sebagai pelaksana pembangunan saluran irigasi itu. Anggaran yang berasal dari Dana Desa, sebagian besar malah masuk ke kantong para pelaku kegiatan. Dengan dalangnya siapa lagi kalau bukan kepala desa.
Desas-desus telah terjadi penyelewengan Dana Desa pun semakin mengemuka. Setelah puluhan warga yang dikoordinasi pensiunan bintara TNI, suatu hari ngajorag (Bhs. Sunda: mendatangi) kantor Kepala Desa. Dan yang terjadi bukan lagi dialog, melainkan interogasi terhadap kepala desa dengan seluruh jajarannya.
Entah informasi dari mana, puluhan "wartawan" pun turut serta meliputnya. Hanya saja sebagaimana sebutan wartawan memakai tanda kutip, karena warga pun tahu kalau wartawan-wartawan itu bukan dari media yang korannya beredar di pasaran. Malahan warga pun tahu di antara wartawan itu sebelumnya ada yang pernah malang-melintang berprofesi sebagai tukang ojek. Sebagian lagi ada juga yang aktif sebagai anggota berbagai ormas yang belakangan ini tumbuh bagai jamur di musim hujan. Hanya saja gaya mereka tak kalah dari wartawan profesional. Dengan smartphone murahan, mereka mengabadikan seluruh momen yang terjadi dalam pertemuan antara warga dengan kepala desa tersebut.
Bak polisi sedang memeriksa pesakitan, puluhan warga itu secara to the point, langsung pada pokok permasalahan, dengan bahasa pasaran, juga dengan sikap sampai ada yang menggebrak meja segala, tapi tetap berpegang pada fakta hasil temuan di lapangan, meminta pertanggungjawaban kepala desa dan seluruh pihak terkait permasalahan tersebut.
Demikian juga petugas Babinkabtimas, dan Babinsa di desa itu turut menyaksikannya dari awal hingga selesai. Bisa jadi keduanya hanya berjaga-jaga saja. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Kalau sebatas berteriak dan meja digebrak-gebrak, di alam reformasi ini masih dapat ditolerir rupanya.
Sebagaimana maling saat dinterogasi aparat, pada mulanya mereka yang merasa, termasuk kepala desa, tentu saja, menampik semua yang ditudingkan warga. Hanya saja berkat pensiunan TNI yang mengaku pernah bertugas dibagian intelijen, pada ahirnya maling-maling itu, eh, kepala desa dengan seluruh pihak yang terkait dalam pengelolaan Dana Desa, dengan tertunduk lesu mengakui semua kelakuannya itu.
Ya, benar. Bukan hanya masalah pembangunan saluran irigasi saja ternyata. Melainkan seluruh kegiatan pembangunan yang anggarannya berasal dari Dana Desa telah diselewengkannya. Dari nilai uang sebesar Rp 800 jutaan, tercatat hampir Rp 100 juta lebih masuk ke kantong masing-masing.
Entah bagaimana, setelah kepala desa dan seluruh pihak terkait sudah mengakui perbuatannya, pertemuan itu pun langsung bubar. Hanya saja puluhan wartawan yang hadir ketika itu, meminta "biaya liputan" dengan jumlah yang cukup besar. Kalau tidak, maka permasalahan yang tadi dibicarakan akan menjadi berita di koran mereka.
Sementara warga yang barusan ikut menggeruduk kantor kepala desa, yang semula sudah berkoar-koar kalau perbuatan kepala desa itu sudah termasuk perbuatan melawan hukum, dan mengancam akan melaporkannya kepada penegak hukum, setelah bubaran, tak ada seorang pun melakukan tindakan yang sebelumnya mereka katakan.
Demikian juga petugas Babinkabtimas, yang notabene seorang anggota Polri, sama sekali tidak menindaklanjuti kasus tersebut untuk dibawa ke ranah hukum. Yang terlihat, petugas Babinkabtimas itu hanya mempermainkan smartphonenya saja selama berada di dalam ruangan pertemuan itu. Entah mengapa.