Kalau melihat kredibilitas dan kapabelitasnya di bawah rata-rata memang. Tapi karena tiga kali mencalonkan diri, tampaknya di punya ambisi yang kuat. Ditambah pula dengan modal yang dikeluarkan sudah begitu banyak. Apa boleh buat. Kami tidak tega juga melihatnya.
Begitulah. Bisa jadi Mas Kukuh juga sekarang ini memiliki pikiran seperti itu. Bukankah Prabowo juga dalam Pilpres mendatang akan tampil untuk ketiga kalinya mencalonkan diri. Siapa tahu Mas Kukuh jatuh iba karena kasihan kalau Prabowo jadi pecundang lagi.
"O, jadi Mas sekarang sudah berganti pilihan ya?"
Dia menatap saya dengan sorot yang tajam. Tapi tidak lama kemudian dia menebarkan senyumnya seraya menggelengkan kepala.
"Tidak. Saya jatuh iba terhadap beliau karena tak mau belajar dari kekalahannya. Sikapnya di dalam meraih simpati justru saya anggap kontra-produktif. Ditambah lagi dengan sikap orang-orang di belakangnya yang jumawa, dan seolah tak tahu etika. Belum lagi dengan calon pendampingnya yang sama sekali belum teruji. Baru beberapa bulan jadi wakil gubernur, bisa menjadi tolok ukur kedangkalan kinerjanya. Apa mau jualan janji-janji melulu? Sehingga kalau begini naga-naganya, tidak menutup kemungkinan Prabowo akan jatuh terperosok untuk ketiga kalinya."
"Kalau masalah pilihan, tidak berubah koq. Saya tetap memilih Jokowi. Apalagi sekarang memilih pendamping dari kalangan ulama, jadi semakin sinergi antara ulama dengan umara dalam mengelola Indonesia ke depannya."
Saya hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Sementara dalam hati berucap kalau Mas Kukuh memang keukeuh, memiliki pendirian yang kuat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H