Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demi Harta Kekayaan Rela Menjadi Abdi Siluman

27 Januari 2018   22:08 Diperbarui: 27 Januari 2018   22:21 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (You Tube)

Sambungan dari: Teror Siluman Pesugihan yang Meresahkan

Teror siluman yang mengganggu Mang Junaedi tiernyata tidak berhenti sampai pada malam itu saja. malam-malam berikutnya gangguan siluman yang tak nampak dengan kasat mata, tetapi akibat perbuatannya dapat dirasakan seluruh warga, nyata adanya.

Pada malam kedua, beberapa orang warga yang kebetulan mendapat tugas ronda malam, sebagian tidak berada di pos Kamling. Oleh Kepala Desa mereka ditugaskan untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Mang Junaedi.

Di saat mulai beranjak menuju tengah malam, menurut kesaksian para ronda malam yang berjaga di dekat halaman rumah Mang Junedi, secara mendadak angin tiba-tiba bertiup kencang, dan berputar seperti angin puting beliung. Seluruh pepohonan di sekitar meliuk-liuk sepertinya akan tumbang. Tak lama kemudian muncul bunyi derap kaki kuda yang terdengar semakin mendekat ke arah mereka. Hanya saja tak seorangpun dari mereka yang melihat wujudnya.

Para peronda yang berjaga itupun dilanda ketakutan, tentu saja. Akan tetapi salah seorang di antaranya masih sempat menabuh kentongan yang dibawanya. Dan warga di sekitar pun keluar dari rumah masing-masing, menuju ke arah rumah Mang Junaedi. Sehingga suasana pun seperti pada malam pertama terjadinya peristiwa itu.

Hanya saja meskipun semua orang mengucap takbir, tahmd, dan tahlil, juga sebagian lagi secara bersama-sama mengaji surah Yaasiin di dalam rumah Mang Junaedi, gangguan siluman itu sepertinya tak juga berhenti. Rumah dan tanah di sekitarnya bergoyang-goyang seperti dilanda gempa. Sementara suara derap kaki kuda pun terus terdengar seperti sedang mengitari rumah tetangga kami tersebut. Sedangkan menurut Mang Junaedi, terdengar pula suara yang memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya supaya keluar dari dalam rumah dengan segera. Tapi suara panggilan itu sama sekali tidak terdengar oleh orang lain yang berada di sana.

Gangguan itu baru berhenti ketika mulai terdengar kokok ayam jantan yang bersahutan. Dan selama hampir dua minggu, gangguan siluman itu terus-menerus datang setiap malam. Sehingga ketika memasuki malam ketiga, Kepala Desa pun memerintahkan warga untuk bergantian saja dalam menjaga Mang Junaedi dengan keluarganya.  Pertimbangan Kepala Desa supaya aktivitas warga tidak terganggu. Malahan selanjutnya tidak warga kampung kami saja, warga kampung sebelah pun banyak juga yang datang ikut menjaga. Dengan dibarengi rasa penasaran, tentu saja.

Oleh karena itu, untuk memastikan apa sebenarnya yang terjadi terhadap keluarga Mang Junaedi selama ini, beberapa orang warga berinisiatif mendatangi orang pintar. Kemudian menurut orang pintar itu, beberap orang warga yang memiliki keberanian lebih untuk diminta untuk bersembunyi di bawah tangga rumah panggung Mang Junaedi bilamana akan muncul gangguan itu. Hanya saja syaratnya orang-orang itu harus mau bertelanjang bulat, tanpa mengenakan kain sehelaipun di tubuhnya. Konon katanya agar bisa melihat wujud dari siluman yang membuat teror ketakutan terhadap Mang Junaedi, dan tentunya terhadap warga kampung kami selama ini.

Maka ketika malam telah tiba, tiga orang yang bertelanjang bulat itu pun bersembunyi di bawah tangga rumah. Sementara warga yang lainnya tidak lagi berkerumun di sekitar, melainkan mengambil tempat tersembunyi untuk mengintip apa yang bakal terjadi kemudian.

Seperti malam-malam sebelumnya, diawali dengan munculnya angin yang bertiup kencang, kemudian disusul oleh suara derap kaki kuda yang mendekati rumah Mang Junaedi, maka tiga orang yang bersembunyi di bawah tangga itu pun kemudian, katanya, secara bersama-sama bisa melihat wujud dari siluman pengganggu itu.

Sebagaimana yang diceritakan mereka kemudian, tampak di depan mereka  beberapa orang bertubuh tinggi dengan pakaian seperti dalam kisah pewayangan, dan berwajah seram, menggandeng seseorang yang tidak asing lagi bagi mereka. Setelah turun dari kuda yang ditungganginya, mereka menghampiri pintu depan rumah Mang Junaedi seraya memanggil-manggil nama pemilik rumah.

Akan tetapi tengah memanggil-manggil nama Mang Junaedi, salah seorang yang mengintip di bawah tangga rumah itu batuk tersedak. Dan tanpa diduga, orang-orang yang bertubuh tinggi besar itupun menendang ketiga pengintip itu sehingga sampai terjengkang ke dalam rumah. Momen ketiga orang yang terjengkang itupun dapat disaksikan oleh semua warga yang mengintip di sekitar halaman. Hanya saja mereka tidak bisa melihat siapa yang menendangnya. Sehingga kemudian warga pun memburu masuk ke dalam rumah. Selain untuk memberi pertolongan, juga ingin segera tahu apa yang sebenarnya baru saja terjadi.

Menurut ketiga orang itu kemudian, bahwa orang yang digandeng beberapa orang betubuh tinggi dan berwajah seram itu adalah tetangga kami juga yang ketika itu dikenal paling kaya di kampung kami. Hanya saja selama itu tidak lagi tinggal di kampung, tapi membuka pabrik makanan di kota dekat Jakarta. Hanya sekali-kali saja yang bersangkutan pulang kampung. Misalnya saja kalau menjelang hari raya, atawa kalau kebetulan akan membeli tanah dari warga yang menjualnya karena terdesak kebutuhan.

Selang setelah beberapa hari usai mendapat gangguan berkepanjangan, suatu hari warga di kampung kami dikejutkan dengan munculnya sebuah mobil ambulan dengan raungan sirinenya yang nyaring terdengar.

Ternyata orang kaya itu telah meninggal dunia. Hanya saja saat jasadnya yang terbungkus kain kafan diturunkan dari ambulan, semua mata yang menyaksikan, melihat kain kafan itu penuh dengan bercak darah. Terlebih lagi dari bagian wajahnya darah segar masih mengucur deras. Sehingga bau amis pun tercium di sekitar.

Menurut keterangan beberapa orang pekerja yang turut mengantar jenasahnya, konon orang kaya itu meninggal saat sedang mencuci mobil. Tiba-tiba saja jatuh tersungkur sambil menggeliat-liat seperti orang yang sedang dicekik saja lehernya.

Maka orang-orang di kampung kami banyak yang menduga, orang kaya itu mendapatkan harta kekayaannya yang berlimpah dengan cara bersekutu dan jadi pengabdi siluman buta hejo (Buto ijo). Bisa jadi ikan mas yang dilepaskan di sungai itu untuk mendapatkan tumbal pengganti dirinya. Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi, Mang Junaedi  tidak mengambil ikan itu, dan hanya membacoknya saja.

Selang satu-dua tahun kemudian, harta kekayaan peninggalan orang kaya itu habis fijual oleh saudara-saudaranya. Sementara dua orang anaknya yang ketika itu masih kecil hanya mendapat bagian sedikit saja.

Sampai pada ahirnya, sekarang ini keluarga itu pun hidup serba kekurangan. Sedangkan kabar dua orang anaknya sudah tidak terdengr lagi bagaimana nasibnya.

Terlepas dari kentalnya kejadian itu dengan hal yang tidak terjangkau akal, namun upaya memperoleh harta kekayaan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama, sebagaimana juga menumpuk harta kekayaan dengan cara mengemplang duit negara, alias korupsi, akibatnya sudah tentu akan sama dengan yang dialami orang kaya di kampung kami. Mendapat kehinaan yang berkepanjangan secara sosial, baik di dunia sekarang ini maupun kelak di akhirat. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun