Akan tetapi tengah memanggil-manggil nama Mang Junaedi, salah seorang yang mengintip di bawah tangga rumah itu batuk tersedak. Dan tanpa diduga, orang-orang yang bertubuh tinggi besar itupun menendang ketiga pengintip itu sehingga sampai terjengkang ke dalam rumah. Momen ketiga orang yang terjengkang itupun dapat disaksikan oleh semua warga yang mengintip di sekitar halaman. Hanya saja mereka tidak bisa melihat siapa yang menendangnya. Sehingga kemudian warga pun memburu masuk ke dalam rumah. Selain untuk memberi pertolongan, juga ingin segera tahu apa yang sebenarnya baru saja terjadi.
Menurut ketiga orang itu kemudian, bahwa orang yang digandeng beberapa orang betubuh tinggi dan berwajah seram itu adalah tetangga kami juga yang ketika itu dikenal paling kaya di kampung kami. Hanya saja selama itu tidak lagi tinggal di kampung, tapi membuka pabrik makanan di kota dekat Jakarta. Hanya sekali-kali saja yang bersangkutan pulang kampung. Misalnya saja kalau menjelang hari raya, atawa kalau kebetulan akan membeli tanah dari warga yang menjualnya karena terdesak kebutuhan.
Selang setelah beberapa hari usai mendapat gangguan berkepanjangan, suatu hari warga di kampung kami dikejutkan dengan munculnya sebuah mobil ambulan dengan raungan sirinenya yang nyaring terdengar.
Ternyata orang kaya itu telah meninggal dunia. Hanya saja saat jasadnya yang terbungkus kain kafan diturunkan dari ambulan, semua mata yang menyaksikan, melihat kain kafan itu penuh dengan bercak darah. Terlebih lagi dari bagian wajahnya darah segar masih mengucur deras. Sehingga bau amis pun tercium di sekitar.
Menurut keterangan beberapa orang pekerja yang turut mengantar jenasahnya, konon orang kaya itu meninggal saat sedang mencuci mobil. Tiba-tiba saja jatuh tersungkur sambil menggeliat-liat seperti orang yang sedang dicekik saja lehernya.
Maka orang-orang di kampung kami banyak yang menduga, orang kaya itu mendapatkan harta kekayaannya yang berlimpah dengan cara bersekutu dan jadi pengabdi siluman buta hejo (Buto ijo). Bisa jadi ikan mas yang dilepaskan di sungai itu untuk mendapatkan tumbal pengganti dirinya. Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi, Mang Junaedi  tidak mengambil ikan itu, dan hanya membacoknya saja.
Selang satu-dua tahun kemudian, harta kekayaan peninggalan orang kaya itu habis fijual oleh saudara-saudaranya. Sementara dua orang anaknya yang ketika itu masih kecil hanya mendapat bagian sedikit saja.
Sampai pada ahirnya, sekarang ini keluarga itu pun hidup serba kekurangan. Sedangkan kabar dua orang anaknya sudah tidak terdengr lagi bagaimana nasibnya.
Terlepas dari kentalnya kejadian itu dengan hal yang tidak terjangkau akal, namun upaya memperoleh harta kekayaan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama, sebagaimana juga menumpuk harta kekayaan dengan cara mengemplang duit negara, alias korupsi, akibatnya sudah tentu akan sama dengan yang dialami orang kaya di kampung kami. Mendapat kehinaan yang berkepanjangan secara sosial, baik di dunia sekarang ini maupun kelak di akhirat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H