Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jenderal, "Game is Over"

20 Desember 2017   15:47 Diperbarui: 21 Desember 2017   03:58 2712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto baru-baru ini membatalkan SK Mutasi sekian banyak perwira tinggi TNI yang ditandatangani Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI sebelumnya. 

Meskipun memang tidak semua perwira tinggi yang dimutasi itu dibatalkan oleh Panglima yang berasal dari TNI matra AU, dan tercatat hanya enam belas pati saja, namun bisa jadi pembatalan itu pun menjadi sinyal kalau manuver Gatot Nurmantyo telah  dijegal di tengah jalan, dan ambisi untuk mendapat panggung di dunia politik pun akhirnya menjadi gagal total.

Gatot dilantik Jokowi menjadi Panglima TNI pada Juli 2015. Merujuk UU 34/2004 tentang TNI, usia pensiun perwira tinggi militer adalah 58 tahun. Saat ini Gatot berusia 57 tahun. Pada 13 Maret mendatang, ia akan menginjak usia pensiun dan wajib meletakkan jabatan tertinggi di TNI. Akan tetapi beberapa bulan sebelum tiba pada saatnya, belum lama ini Gatot telah dicopot dari jabatannya sebagai Panglima TNI oleh Presiden Jokowi, dan diganti oleh Marsekal Hadi Tjahjanto yang sebelumnya memegang jabatan Kepala Stap TNI AU.

(Baca juga: Panglima TNI Anulir Rotasi yang dilakukan Gatot Nurmantyo)

Meskipun memang pada dasarnya pergantian Panglima TNI merupakan Hak Prerogratif Presiden, namun banyak kalangan yang menduga, pergantian itu tidak lepas dari sepak-terjang Gatot selama menjabat Panglima TNI yang dianggap seringkali membikin kegaduhan.

Tercatat berbagai pernyataan Gatot yang kerap menimbulkan pro dan kontra, dan dianggap sedang berpolitik praktis, bahkan terkesan tidak ada kesepahaman dengan lembaga lain yang terkait dengan pertahanan dan keamanan. Sehingga wajar banyak kalangan yang mengecam sepak-terjang Gatot yang dianggap telah kebablasan.

Suatu saat, di dalam ceramah kebangsaan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Gatot pernah menyebutkan, bahwa praktik demokrasi di Indonesia sudah tak sesuai lagi dengan Pancasila, karena dilakukan dengan cara voting, dan bukan lagi oleh musyawarah dan mufakat.

Pernyataan itu pun langsung mendapat kritikan tajam. Panglima TNI sebaiknya tidak memasuki atau mewacanakan masalah-masalah politik, sebab itu bukan wilayahnya. Bagaimanapun dalam sistem demokrasi pengambilan suara terbanyak, voting, tak dapat dihindarkan.

Tak lama setelah itu, dalam sebuah pertemuan dengan para purnawirawan perwira tinggi TNI, Gatot telah memaparkan dugaan adanya suatu lembaga negara yang mencatut nama Jokowi untuk membeli 5000 pucuk senjata secara ilegal. Sontak hal itu pun menimbulkan polemik yang hingar-bingar, dan tentunya memunculkan pro dan kontra.

Demikian juga ketika menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Panglima TNI yang satu ini mewajibkan seluruh tentara menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI, karya yang disebut sebagian kelompok sebagai propaganda politik pemerintahan Orde Baru. Terlepas dari argumentasi Gatot Sendiri terkait hal itu, namun tetap saja bagi sebagian besar masyarakat, sikap Gatot telah menimbulkan kegaduhan yang cukup riuh.

Akan halnya sikap Presiden Jokowi sendiri terhadap salah seorang anak buahnya, ini ketika itu memang tidak bersikap sama sekali. Seolah membiarkan Gatot bersikap sesukanya. Hanya saja ketika publik banyak yang menyampaikan kritikan, pada suatu saat Jokowi pun berucap, pihaknya tak ingin situasi politik nasional memanas jelang pilkada di 171 daerah pada 2018 serta pemilihan legislatif dan presiden secara serentak tahun 2019. 

Selanjutnya Jokowi Jokowi meminta seluruh bawahannya tidak membuat kegaduhan, dan fokus mencapai target kinerjanya masing-masing. Jokowi menegaskan, semua kegiatan politik nasional jangan membuat kegaduhan dan kerancuan yang menyebabkan pilkada dan pilpres terganggu.

Meskipun tidak ditujukan kepada seseorang, tapi publik pun sudah menebak kemana arah yang dimaksud Presiden saat itu. Bahkan desakan masyarakat agar segera mengganti Panglima TNI, tampaknya mendapat respon Jokowi. Tak lama kemudian Gatot pun dicopot dari jabatannya.

Memang benar, sepak-terjang, atau manuver Gatot Nurmantyo selama menjadi Panglima TNI dianggap kerapkali membikin kegaduhan, bisa jadi karena dirinya pernah diterpa angin surga. Beberapa parpol pernah menggadang-gadang dirinya untuk maju dalam Pilpres 2019 mendatang. 

Begitu juga beberapa lembaga survey pernah menjaring suara masyarakat yang menilai Gatot memiliki kepantasan untuk menjadi pemimpin negeri ini, terlepas elektabilitasnya masih belum maksilmal sekalipun.

Oleh karena itu Gatot pun tampaknya kesengsem juga, dan kemudian berupaya mencari panggung demi mendapat perhatian publik. Hanya saja karena panggung politik yang ditempatinya tidak sesuai dengan selera rakyat banyak, apa boleh buat, manuvernya pun dijegal banyak pihak. Sehingga tak salah kalau dingatkan : Jendral, game is over.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun