Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jangan Coba Laporkan Kasus Korupsi, Nanti Seperti Nurhayati

26 Februari 2022   05:30 Diperbarui: 26 Februari 2022   06:59 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: kompas.com/FREEPIK.com)

Kecuali jika kemudian dalam pemeriksaan di pengadilan terbukti ada peran atau perbuatan saksi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, maka atas dasar fakta persidangan itu saksi bisa ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 184 dan Pasal 185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan aturan yang tertuang dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan korban.

Bahkan dalam kasus Nurhayati, dan Muhammad Asrul yang membuka pintu dugaan kasus korupsi yang selama ini disebut sebagai extraordinary crime, atau kejahatan yang luar biasa, pelapor seperti Nurhayati dan Muhammad Asrul sudah seharusnya mendapatkan penghargaan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018.

Terlepas dari itu, cukup menarik dengan dalih yang dikemukakan Kapolres kota Cirebon, AKBP Fahri Siregar, terkait ditetapkannya Nurhayati sebagai tersangka, lantaran sudah sesuai kaidah hukum karena perbuatan yang bersangkutan menyerahkan uang dana desa langsung ke kepala desa bisa dikategorikan melawan hukum.

Silahkan dibaca juga: Dana Desa Rawan Dikorupsi, tapi Tindakan Hukumnya Setengah Hati?

Bisa jadi penetapan Nurhayati menjadi tersangka itu juga yang menimbulkan polemik di tengah publik belakangan ini. Polresta Cirebon dianggap memandang kasus tersebut dengan menggunakan kacamata kuda.

Padahal di samping harus memperhatikan Pasal 184 dan Pasal 185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sudah selayaknya mempertimbangkan jika masyarakat di pedesaan pada umumnya masih dianggap memiliki keterbatasan terhadap seluk-beluk prosedur, dan aturan perundang-undangan. 

Demikian juga halnya dengan hierarki pemerintahan di desa yang memiliki ciri khas tersendiri, bahwa sosok seorang kepala desa yang dianggap memiliki kekuasaan penuh sebagai orang nomor satu di desanya, secara otomatis segala sesuatu yang terjadi di dalam kegiatan pemerintahannya harus diketahui oleh dirinya.

Secara prosedural, Nurhayati memang harus menyerahkan dana desa yang dicairkannya langsung kepada aparat desa yang menjadi pelaksana. Akan tetapi dalam serah-terima tersebut, kepala desa harus menyaksikannya. Karena itu juga apabila seorang kepala desa yang memiliki iktikad tidak baik, maka yang bersangkutan pun akan menunjukkan kekuasaannya.

Ditambah lagi dengan faktor gender. Secara psikologis, Nurhayati, seorang perempuan yang berasal dari pelosok desa, bisa jadi memiliki rasa segan bercampur takut ketika berhadapan dengan kepala desa yang berlainan jenis dengan dirinya.

Di sinilah kiranya tantangan bagi aparat penegak hukum, baik kepolisian, jaksa, dan hakim kudu mampu bersikap objektif, dan mempertimbangkan dari berbagai aspek dalam memutuskan suatu perkara.

Apa lagi dengan perkara penyelewengan dana desa di desa Citemu, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ini bisa jadi merupakan sebuah puncak gunung es yang hingga saat ini masih banyak yang belum terungkap ke permukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun