Tahun 2012 lalu, sebuah stasiun televisi pernah menayangkan sebuah sinetron ber-genre drama aksi yang bertitel Kian Santang, dengan pemeran utamanya Alwi Assegaf, aktor cilik yang sekarang menjadi seorang mubaligh muda.
Adapun Kian Santang sendiri merupakan  nama salah satu legenda Tatar Sunda, Jawa Barat, yang konon adalah seorang putra raja Kerajaan Pajajaran yang dikenal bernama Prabu Siliwangi.
Dalam sinetron tersebut, diceritakan bahwa Pangeran Kian Santang adalah seorang yang gagah, dan sakti mandraguna. Salah satu ilmu kanuragannya adalah yang dikenal dengan sebutan ilmu Karang, atau Batara Karang.
Berdasarkan penelusuran, ilmu karang adalah salah satu jenis ilmu gaib tingkat tinggi dalam masyarakat Jawa dan Sunda yang dipercaya dapat memberikan kekebalan dan kekuatan bagi pemiliknya. Pemilik ilmu karang dipercaya dapat meleburkan atau melelehkan lawannya hanya dengan sekali sentuha
Menurut sahibul hikayat, konon nama Karang ditengarai berasal dari sebuah tempat terpencil di Tasikmalaya yang dipercaya menjadi pusat, atau asal ilmu kanuragan tersebut.Â
Sebelum kedatangan Islam, tempat bernama Karang Nunggal dipercaya dikuasai oleh Batara Karang. Batara Karang menguasai ilmu hitam dan ia dikisahkan bertarung dengan Syeh Abdul Muhyi yang diutus untuk mengislamkan Batara Karang. dalam pertarungan itu Batara Karang kalah dan bersedia memeluk Islam.
Hingga saat ini, khususnya di tengah masyarakat Pasundan, ilmu Batara Karang masih diyakini banyak orang sebagai sebuah ilmu kanuragan, atau kedigdayaan tingkat tinggi.
Konon kegunaan ajian ini, pemiliknya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki tidak bisa ditembus oleh senjata jenis apapun baik senjata tajam, senjata api dan lain sebagainya.
Penulis sendiri suatu ketika pernah menyaksikan, dan merasakan keanehan di luar nalar ilmu Batara Karang itu, melalui media berbentuk boneka yang berpenampilan menyeramkan, serta seperti bernyawa.
Betapa tidak. Boneka berukuran kecil (kira-kira seukuran jempol tangan lelaki dewasa, dan panjangnya sekitar satu jengkal), rambutnya panjang, gigi bertaring, sedangkan matanya, sebagaimana dijelaskan pemiliknya, seorang yang dikenal sebagai seorang jawara, harus ditutup lantaran kalau tidak akan membuat mata orang yang beradu tatapan akan menjadi buta.
Saat penulis ingin lebih mengetahui misteri Batara Karang tersebut, pemiliknya mempersilahkan penulis untuk memegang boneka yang juga dikenal dengan sebutan jenglot itu. Tidak tanggung-tanggung, bersama empat orang teman, kami berbaris, dan saling berpegangan tangan.Â
Kemudian teman keempat dari penulis yang memegang boneka mistis tersebut, dan yang berdiri paling ujung, dipotong rambutnya menggunakan silet.
Apa yang terjadi? Ternyata rambutnya sama sekali tidak bisa dipotong. Padahal silet itu masih baru dibuka, dan cukup tajam.
Demikian juga ketika diuji coba pada seekor ayam yang dipegang oleh teman yang juga sambil memegang boneka jenglot itu, ternyata saat ayamnya dicoba untuk disembelih, sama sekali tidak terluka sedikitpun.
Yang membuat penulis bergidik, konon menurut pemiliknya, boneka mistis tersebut harus diberikan sajian darah segar pada setiap waktu tertentu.
Darah apakah itu?Â
Itulah yang membuat pemiliknya sendiri seringkali dibuat kebingungan. Sebagaimana pengakuannya, Batara Karang, atau jenglot itu harus menghirup darah manusia.Â
Sehingga untuk mengatasinya, dirinya terkadang mengiris nadinya sendiri, atau kalau tidak, alternatif lain adalah dengan memotong ayam. Lalu darahnya ditampung untuk diberikan kepada boneka mistis tersebut.
Penemuan tentang hal tersebut, sekitar tahun 1989, di wilayah Garut selatan, Jawa Barat. Entahlah, saat ini masih ada atau sudah tidak ada lagi, penulis sendiri tidak pernah mendengar kabar beritanya lagi.Â
Setidaknya dengan adanya topik pilihan di Kompasiana ini, telah mengingatkan penulis dengan suatu pengalaman 30 tahun yang lalu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H