Betapa tidak. Boneka berukuran kecil (kira-kira seukuran jempol tangan lelaki dewasa, dan panjangnya sekitar satu jengkal), rambutnya panjang, gigi bertaring, sedangkan matanya, sebagaimana dijelaskan pemiliknya, seorang yang dikenal sebagai seorang jawara, harus ditutup lantaran kalau tidak akan membuat mata orang yang beradu tatapan akan menjadi buta.
Saat penulis ingin lebih mengetahui misteri Batara Karang tersebut, pemiliknya mempersilahkan penulis untuk memegang boneka yang juga dikenal dengan sebutan jenglot itu. Tidak tanggung-tanggung, bersama empat orang teman, kami berbaris, dan saling berpegangan tangan.Â
Kemudian teman keempat dari penulis yang memegang boneka mistis tersebut, dan yang berdiri paling ujung, dipotong rambutnya menggunakan silet.
Apa yang terjadi? Ternyata rambutnya sama sekali tidak bisa dipotong. Padahal silet itu masih baru dibuka, dan cukup tajam.
Demikian juga ketika diuji coba pada seekor ayam yang dipegang oleh teman yang juga sambil memegang boneka jenglot itu, ternyata saat ayamnya dicoba untuk disembelih, sama sekali tidak terluka sedikitpun.
Yang membuat penulis bergidik, konon menurut pemiliknya, boneka mistis tersebut harus diberikan sajian darah segar pada setiap waktu tertentu.
Darah apakah itu?Â
Itulah yang membuat pemiliknya sendiri seringkali dibuat kebingungan. Sebagaimana pengakuannya, Batara Karang, atau jenglot itu harus menghirup darah manusia.Â
Sehingga untuk mengatasinya, dirinya terkadang mengiris nadinya sendiri, atau kalau tidak, alternatif lain adalah dengan memotong ayam. Lalu darahnya ditampung untuk diberikan kepada boneka mistis tersebut.
Penemuan tentang hal tersebut, sekitar tahun 1989, di wilayah Garut selatan, Jawa Barat. Entahlah, saat ini masih ada atau sudah tidak ada lagi, penulis sendiri tidak pernah mendengar kabar beritanya lagi.Â
Setidaknya dengan adanya topik pilihan di Kompasiana ini, telah mengingatkan penulis dengan suatu pengalaman 30 tahun yang lalu. ***