Ketika tim yang didukungnya memetik kemenangan, atau juga hanya mendapatkan hasil imbang, terlebih lagi kalau sampai menelan kekalahan, masih saja ada yang nyinyir. Seakan-akan dirinya sendiri yang paling maha benar.
Padahal, boleh jadi orang yang gampang menyalahkan pemain dan pelatih itu belum pernah sekalipun merasakan atmosfer di lapangan. Sebagai pemain, sebagaimana mereka yang sekarang jadi punggawa kesebelasan Indonesia. Atau paling tidak jadi pemain sepak bola tingkat tarkam.
Bagaimana bola harus ditendang, ditangkap, direbut, atau juga diamankan dari serangan lawan, dan tentunya harus berlari ke sana kemari dengan kencang.
Begitu juga dengan pelatih di pinggir lapangan. Bagaimana Shin Tae-yong bersama para asistennya harus memutar otak, dan memberikan komando bagi seluruh anak asuhnya yang tengah berjibaku selama berlangsungnya pertandingan.
Ihwal hasil imbang di leg pertama babak semifinal turnamen piala AFF antara Indonesia vs Singapura pun, sebagaimana dikemukakan Shin Tae-yong seusai pertandingan, faktor kelelahan juga yang menjadi salah satu penyebabnya.
Selain itu juga adalah Singapura sebagai tuan rumah, merupakan faktor yang tidak bisa disangkal lagi sebagai pendorong semangat anak asuh Tatsuma Yoshida, dan dukungan supporternya, tentu saja.
Sementara faktor-faktor lainnya tidaklah begitu dipersoalkan. Apa lagi jika melihat perbandingan rata-rata usia para pemain dari kedua kesebelasan.
Sesungguhnya Indonesia diuntungkan dengan usia para pemain yang relatif masih muda, dibandingkan dengan para pemain Singapura yang kebanyakan sudah berkepala tiga.
Terlebih lagi meski mereka masih banyak yang berusia muda, tapi beberapa dari mereka sudah terasah pengalamannya di kancah liga Eropa dan Asia.Â
Sebagaimana halnya Elkan Baggott, Ezra Wailan, Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri, Asnawi Mangkualam, dan yang lainnya.
Kiranya hal itu pun tidak boleh diabaikan. Sebaliknya justru akan memberikan andil sebagai pendorong rasa percaya diri seluruh tim.