Mengasuh cucu-cucu yang masih balita, merupakan suatu kesenangan dan sekaligus kerepotan tersendiri bagi kami. Kakek dan neneknya.Â
Senangnya karena di rumah tidak terasa sepi lagi. Karena kami belakangan ini tinggal hanya berdua saja. Setelah tiga anak kami masing-masing sudah berumah tangga, sementara dua orang lagi masih kuliah nun di Yogyakarta.
Sehingga dengan kehadiran bocah-bocah yang masih kecil, dan lucu-lucu, membuat rumah terasa berwarna kembali. Ada celoteh dan tingkah penuh keriangan, membuat kami berdua tergelak terbawa suasana.
Memang, sebagai pasangan manula, setelah istri pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang guru, dan saya sendiri sudah beberapa tahun ini resign dari pekerjaan sebagai kuli tinta, praktis kami berdua lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja.
Untunglah dengan bertani berbagai tanaman di halaman, dan mengurus kolam ikan, terlebih lagi sampai sekarang ini saya masih tetap menulis, sehingga rasa sepi itu dapat terobati.
Hanya saja memang akan lebih terasa berbahagia lagi ketika anak-cucu berkumpul bersama.Â
Namun hal itu sudah jarang sekali terjadi. Dua anak kami yang sudah berkeluarga, masing-masing tinggal di kota yang berbeda dan jaraknya cukup jauh juga.Â
Untunglah anak yang ketiga berjodoh dengan pria dari kampung tetangga. Sehingga seminggu, atau paling lama sebulan sekali kami masih dapat saling bertemu.
Terlebih lagi kalau kebetulan ada suatu keperluan, tidak jarang mereka menitipkan anaknya kepada kami.Â
Sebagaimana pada hari itu. Kebetulan ibu dan ayahnya, anak dan menantu kami, akan menghadiri acara reuni bersama teman-teman semasa SMA-nya.Â
Kedua anaknya yang masih balita itu pun dititipkan kepada kami. Dengan suka-cita kami berdua menerimanya.Â
Dua balita cucu kami, masing-masing berusia empat dan dua tahun. Anak seusia mereka sedang lucu-lucunya memang. Namun nakalnya juga, terkadang sulit dikendalikan.
Masa saya yang sudah sering terkena sakit pinggang, harus merangkak dan ditunggangi mereka berdua sebagai kuda tunggangan.
Atau istri saya dituntut harus ikut main boneka, misalnya, tanpa mampu untuk menolaknya.
Itulah yang membuat kami berdua merasa senang sekaligus kerepotan.
Hal itu juga yang seringkali membuat kami terkenang pada masa awal-awal membangun rumah tangga.
Istri saya yang bekerja sebagai seorang guru, dari pagi hingga siang harus mengajar di sekolah. Sementara saya sendiri, terpaksa harus tinggal di kota, dan saban hari harus bekerja memburu bahan berita.
Sedangkan anak kami yang pada saat itu baru dua, dan masih balita, terpaksa harus diasuh oleh neneknya. Ibu saya sendiri. Berhubung kami belum mampu untuk membayar baby sitter, atau asisten rumah tangga.
Betapa malu dan merasa bersalah saya kepada ibu yang seharusnya di masa tuanya tidak dibebani dengan pekerjaan mengasuh anak-anak kami.
Seharusnya saya tidak membuat ibu kerepotan mengurus cucu-cucunya. Saya sungguh-sungguh seringkali merasa bersalah bila mengingatnya.
Tapi apa boleh buat. Saya hanya mampu meminta maaf, dan memohon untuk mengikhlaskannya.Â
Bisa jadi ketika itu ibu saya pun seperti kami berdua sekarang ini. Apa lagi karena kebetulan ibu hanya memiliki satu orang anak saja. Hanya saya satu-satunya. Sehingga dengan kehadiran cucu-cucunya, menjadi suatu hiburan tersendiri bagi beliau. Sekaligus merepotkan ya, tentunya.
Di sinilah barangkali masalah yang sering juga dialami oleh pasangan muda lainnya. Sebagaimana yang pernah kami alami juga.
Ketika awal-awal membangun rumah tangga, orang tua kita harus direpotkan dengan ikut mengurus cucu-cucunya. Anak kita.Â
Demikian juga kita sendiri, saat menjelang hari tua harus mengasuh cucu-cucu dari anak kita sendiri.
Untunglah hal itu tidak berlangsung lama. Hanya sementara saja.Â
Coba kalau harus terus-terusan setiap hari jadi baby sitter, jangan-jangan kita juga malah bisa kembali jadi anak TK lagi.
Hahaha...***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H