Kedua anaknya yang masih balita itu pun dititipkan kepada kami. Dengan suka-cita kami berdua menerimanya.Â
Dua balita cucu kami, masing-masing berusia empat dan dua tahun. Anak seusia mereka sedang lucu-lucunya memang. Namun nakalnya juga, terkadang sulit dikendalikan.
Masa saya yang sudah sering terkena sakit pinggang, harus merangkak dan ditunggangi mereka berdua sebagai kuda tunggangan.
Atau istri saya dituntut harus ikut main boneka, misalnya, tanpa mampu untuk menolaknya.
Itulah yang membuat kami berdua merasa senang sekaligus kerepotan.
Hal itu juga yang seringkali membuat kami terkenang pada masa awal-awal membangun rumah tangga.
Istri saya yang bekerja sebagai seorang guru, dari pagi hingga siang harus mengajar di sekolah. Sementara saya sendiri, terpaksa harus tinggal di kota, dan saban hari harus bekerja memburu bahan berita.
Sedangkan anak kami yang pada saat itu baru dua, dan masih balita, terpaksa harus diasuh oleh neneknya. Ibu saya sendiri. Berhubung kami belum mampu untuk membayar baby sitter, atau asisten rumah tangga.
Betapa malu dan merasa bersalah saya kepada ibu yang seharusnya di masa tuanya tidak dibebani dengan pekerjaan mengasuh anak-anak kami.
Seharusnya saya tidak membuat ibu kerepotan mengurus cucu-cucunya. Saya sungguh-sungguh seringkali merasa bersalah bila mengingatnya.
Tapi apa boleh buat. Saya hanya mampu meminta maaf, dan memohon untuk mengikhlaskannya.Â