Menulis, tidak akan pernah habis-habisnya diperbincangkan. Oleh khalayak yang memiliki hobi menulis, pun yang berprofesi sebagai seorang penulis - tentu saja.
Betapa tidak. Dari mulai sulitnya mencari ide untuk bahan tulisan, bagaimana cara memulai untuk kata pertama yang akan ditulis, hingga akhirnya setelah dipublikasikan, muncul pertanyaan, mengapa tulisan itu tidak dilirik sidang pembaca.
Sebagaimana halnya yang sering ditemukan di blog Kompasiana ini. Â Karena memang penulis, dan pembaca sebuah tulisan di blog ini akan dapat diketahui.
Bahkan penulisnya sendiri akan mengetahui juga, siapa sesama Kompasianer yang telah memberikan apresiasi, baik dengan cara memberikan nilai (Aktual; Bermanfaat, Inspiratif; Menarik; Menghibur dan; Unik - malahan sebelumnya ada juga nilai "Tidak Menarik"), dan komentarnya pada kolom yang tersedia.
Selain itu, ada juga yang sampai mempertanyakan, kenapa tulisannya tidak masuk kategori Artikel Utama (AU), atau setidaknya tidak masuk kategori artikel pilihan.
Yang paling menarik, ada pula yang sampai mengklasifikasikan Kompasianer dengan berbagai kategori. Cukup kreatif juga memang, pun mengundang minat untuk menyimaknya.
Namun terlepas dari semua itu, saya sendiri, sebagai seorang yang cuma penulis amatiran, dan memiliki minat untuk menulis sejak lama - sejak masih di bangku sekolah dasar, kemudian menjalani pekerjaan sebagai seorang tukang pencari berita selama hampir dari separuh usia, kalau boleh jujur bagi saya sendiri menulis itu merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan yang tidak boleh tidak musti dilakukan.
Sebagaimana juga halnya dengan makan dan minum. Menulis setiap hari, baik di dalam bentuk diari, atau catatan harian, maupun untuk dipublikasikan, harus tetap dilakukan.
Kemudian apabila dirasakan telah selesai mengerjakannya, tubuh dan jiwa ini terasa... Plong! Seakan segala beban telah terlepas total.
Sementara untuk urusan mendapatkan apresiasi, atau tidaknya dari khalayak pembaca - khusus untuk tulisan yang dipublikasikan, tentunya -sejak lama saya tidak begitu mempedulikannya. Mau mendapatkan apresiasi, ya syukurlah. Tidak dilirik pun tidak jadi soal.
Sungguh. Bisa jadi prinsip itu mungkin terpengaruh oleh mendiang Pramudya Ananta Toer, penulis yang karya-karyanya sudah saya baca semenjak di bangku SMP.
"Biarkan tulisan menemukan takdirnya sendiri," kira-kira begitulah Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, sesuatu yang masih saya yakini kebenarannya hingga kini.
Pernyataan penulis Tetralogi Buru tersebut, boleh jadi mengandung makna yang dalam, bahwa menulis adalah sebuah proses tanpa henti.
Penulis yang konsisten tidak berhenti menulis hanya karena satu tulisan telah selesai ditulisnya. Di depannya, ide lain menanti untuk ditulis, ditulis dan ditulis, begitu seterusnya.
Begitulah.
Hanya saja ternyata lain pula halnya dengan yang terjadi di dalam blog keroyokan, Kompasiana, ini berbeda dengan media mainstream yang dikenal selama ini.
Di sini, di Kompasiana ini, saya melihat bahwa blog ini merupakan platform kombinasi antara media massa dengan media sosial.Â
Setiap orang yang ingin mempublikasikan tulisannya di Kompasiana, atau paling tidak pembaca yang ingin memberikan komentar dan penilaian terhadap sebuah tulisan di blog ini, harus bergabung terlebih dahulu. Menjadi member yang terdaftar secara resmi.
Selain itu, antara satu Kompasianer dengan yang lainnya bisa menjalin komunikasi untuk saling menyapa, setidaknya say hello bila sudah membaca tulisan yang bersangkutan, dan memberikan apresiasi atas hasil karya mereka.Â
Sehingga dengan hal tersebut, silaturahmi pun - meskipun terbatas hanya di dunia Maya, akan terjalin dengan indahnya.
Ya, paling tidak dengan cara itu juga hasil karyanya akan dibaca, dan mendapatkan poin berupa tingkat keterbatasan, dan nilai, serta komentar yang akan meningkatkan klasifikasi yang bersangkutan.Â
Hanya saja, saya sendiri terkadang merasa jengah ketika melihat masih adanya Kompasianer yang terburu-buru, kemungkinan besar saking bernafsunya untuk mendapatkan banyak pembaca, dan penilaian untuk tulisannya, saya menduga, dengan tanpa ba-bi-bu lagi langsung meng-klik memberi penilaian yang terkesan asal-asalan.
Sikap demikian, terus terang saja, saya katakan merupakan suatu sikap egois yang kurang terpuji.Â
Sebagai seorang penulis, baik hanya karena hobi, amatiran, apa lagi seorang profesional, daripada memberikan penilaian yang asal-asalan, akan lebih baik lagi jangan diberikan penilaian, apa lagi komentar.
Marilah kita renungkan sejenak. Bagaimana proses sebuah tulisan dihasilkan.Â
Saya yakin. Baik sebagai seorang penulis pemula, maupun sebagai penulis yang sudah malang-melintang, betapa pekerjaan menulis itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Oleh karena itu, syukurlah saya masih tetap memiliki keyakinan. Tidak ada tulisan yang buruk, lantaran saya sendiri merasakan bagaimana proses sebuah tulisan dilahirkan.Â
Itu saja.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI