Sungguh. Bisa jadi prinsip itu mungkin terpengaruh oleh mendiang Pramudya Ananta Toer, penulis yang karya-karyanya sudah saya baca semenjak di bangku SMP.
"Biarkan tulisan menemukan takdirnya sendiri," kira-kira begitulah Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, sesuatu yang masih saya yakini kebenarannya hingga kini.
Pernyataan penulis Tetralogi Buru tersebut, boleh jadi mengandung makna yang dalam, bahwa menulis adalah sebuah proses tanpa henti.
Penulis yang konsisten tidak berhenti menulis hanya karena satu tulisan telah selesai ditulisnya. Di depannya, ide lain menanti untuk ditulis, ditulis dan ditulis, begitu seterusnya.
Begitulah.
Hanya saja ternyata lain pula halnya dengan yang terjadi di dalam blog keroyokan, Kompasiana, ini berbeda dengan media mainstream yang dikenal selama ini.
Di sini, di Kompasiana ini, saya melihat bahwa blog ini merupakan platform kombinasi antara media massa dengan media sosial.Â
Setiap orang yang ingin mempublikasikan tulisannya di Kompasiana, atau paling tidak pembaca yang ingin memberikan komentar dan penilaian terhadap sebuah tulisan di blog ini, harus bergabung terlebih dahulu. Menjadi member yang terdaftar secara resmi.
Selain itu, antara satu Kompasianer dengan yang lainnya bisa menjalin komunikasi untuk saling menyapa, setidaknya say hello bila sudah membaca tulisan yang bersangkutan, dan memberikan apresiasi atas hasil karya mereka.Â
Sehingga dengan hal tersebut, silaturahmi pun - meskipun terbatas hanya di dunia Maya, akan terjalin dengan indahnya.
Ya, paling tidak dengan cara itu juga hasil karyanya akan dibaca, dan mendapatkan poin berupa tingkat keterbatasan, dan nilai, serta komentar yang akan meningkatkan klasifikasi yang bersangkutan.Â