Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Negeri Para Preman, atawa Gangster Berjubah Dermawan

28 November 2021   12:04 Diperbarui: 28 November 2021   12:07 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan. Bagaimana apabila sebuah negara telah dikuasai oleh para gangster, atau dengan sebutan lainnya: Preman. Hukum yang merupakan panglima tertinggi pun sudah tidak berlaku lagi. Benar dan salah, tergantung kepalan tangan dan moncong pistol yang siap mengoyak batok kepala. 

Menurut kamus, preman adalah sebutan kepada orang jahat, seperti penodong, pencopet, dan pemalak. Sedangkan kata gangster artinya adalah kelompok orang yang suka berkelahi, suka membikin onar dan kerusuhan. Sehingga preman dan gangster adalah 11 - 12.

Dewasa ini para preman atawa gangster dalam melakukan kejahatannya lebih terorganisir, dan bisa merekrut anggotanya sampai jutaan orang. Sehingga sampai ada yang mengatakan, tidak ubahnya organisasi para gangster itu bagaikan sebuah negara di dalam negara.

Begitulah, mereka menebar teror. Siapa yang mencoba mengusiknya, jangan harap bisa melihat terbitnya matahari lagi. Lantaran malam-malam sudah diculik, dan dilenyapkan secara misterius. Bak ditelan bumi.

Tidak hanya berlaku kepada masyarakat sipil saja, teror yang mereka tebarkan bahkan penegak hukum yang coba-coba untuk membasminya, tanpa segan dan risih langsung dihabisi, tanpa peduli dengan akibatnya lagi.

Untuk melebarkan cengkeraman kekuasaannya, mereka pun tak segan-segan untuk bersekutu dengan pemerintahan yang resmi tapi korup.

Begitu juga agar mendapatkan simpati dari masyarakat kelas bawah, tanpa sungkan mereka pun tampil bak malaikat. Dengan membagi-bagikan sedekah dari hasil kejahatannya kepada mereka. Wong cilik, yang hidupnya  hanya berpikir sebatas bagaimana mendapatkan makanan penangsal perutnya yang tak henti berbunyi.

Bahkan dengan bekerja sama dengan pemerintahan yang resmi, para gangster itu membangun berbagai fasilitas umum berupa sarana pendidikan, sosial, dan kesehatan yang diperuntukkan bagi masyarakat golongan bawah tersebut.

Pendeknya di mata kaum papa, para preman, atawa gangster itu adalah dermawan, bahkan bak malaikat yang senantiasa membantunya dalam kesusahan dan penderitaan hidupnya.

Begitulah kenapa geng preman, atawa gangster yang menguasai kartel narkoba di sebuah negara di kawasan Amerika latin, tepatnya di Kolumbia, mampu menancapkan hegemoninya dalam beberapa dekade.

Kartel narkoba di Kolumbia itu dipimpin oleh Pablo Escobar. Kisahnya mungkin pernah disaksikan juga oleh para pembaca. Melalui sebuah film yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta beberapa waktu yang lalu.

Demikian juga berbagai buku, dan pemberitaan media tentang sosok Pablo Escobar ini dapat ditemukan kapan pun juga. Tak pelak lagi, popularitasnya memang sejajar dengan tokoh-tokoh dunia.

Hanya saja sayang memang. Kepopulerannya bukan berupa kisah tentang jasa-jasanya bagi kemaslahatan umat manusia. Melainkan tentang kejahatan, keserakahan, dan segala macam tindakannya yang merusak tatanan hidup di dunia ini.

Akan tetapi, kita bangsa Indonesia, patut bersyukur. Kisah tentang seorang Pablo Escobar sama sekali tidak akan ditemui di negara kesatuan Republik Indonesia ini.

Negara kita masih tetap menjunjung hukum sebagai panglima tertinggi di dalam berbangsa dan bernegara.

Yang namanya bentrokan antar geng preman, atawa gangster sama sekali tidak pernah terjadi. Kecuali mungkin perseteruan antara bocah, ketika berebut makanan atawa boneka. Hal seperti itu memang sesuatu yang wajar, namanya juga anak-anak. Belum paham salah dan benar.

Memang benar. Bocah-bocah itu adalah generasi penerus bangsa. Yang akan menerima tongkat estafet dari generasi sebelumnya. Berkat upaya para pinisepuh generasi tua juga, bocah-bocah yang terkadang disebut sebagai bocah yang nakal, ketika masuk pendidikan akan mendapatkan pengajaran. Terutama dasar negara, yakni Pancasila.

Berkat Pancasila juga, kiranya tenun kebhinekaan mampu menciptakan suasana kehidupan yang aman, tertib, damai, tentram, dan penuh harmoni yang indah.

O, alangkah indahnya. Mimpi di siang bolong ini. Membayangkan kehidupan berbangsa dan bernegara di Nusantara ini, kapankah akan menjadi kenyataan? ***


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun