Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Guruku Kekasihku

26 November 2021   06:00 Diperbarui: 26 November 2021   06:21 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sendiri tidak mengerti sama sekali. Dinding pemisah di antara kami menjulang begitu tinggi. Terutama status dan usia, tentu saja. Tapi apa mau dikata. Cinta mengalahkan segalanya.

Kami di kelas biasa memanggilnya Ibu Saras.  Doktoranda Saraswati, nama lengkapnya. 25 tahun usianya. Lulusan IKIP. Dan ketika itu baru dua tahun bertugas sebagai guru di sekolah kami. Sebuah SMA pavorit di kota kabupaten tempatku melanjutkan pendidikan di tingkat menengah atas. Setelah tamat dari SMP di kota kecamatan, tentu saja.

Sejak di kelas dua aku mengenalnya. Sejak pertama berjumpa, kuakui Ibu Saras seorang wanita yang sempurna. Wajahnya, jelas cantik. Mengingatkan diriku kepada aktris Widyawati, istrinya mendiang Sophan Sophian, yang saat itu seringkali tampil di layar lebar bioskop. Hanya saja judesnya Ibu Saras, tidak ada tandingannya. Hampir semua murid, laki dan perempuan menjulukinya Ibu "Killer".

Betapa tidak. Misalnya saja kalau lupa mengerjakan tugas PR, sudah pasti tanpa ampun lagi akan diberi hukuman yang lumayan berat. Berdiri di depan kelas selama pelajaran berlangsung, ditambah tugas pekerjaan rumah yang dobel dari sebelumnya.

Begitu juga terhadap murid perempuan yang suka dandan berlebihan. Bermake-up bak biduan dangdut misalnya, sudah pasti akan dinasehati dengan kata-kata yang pedas. Kalau tidak disebut diomeli juga.

Terlebih lagi bila anak perempuan itu selain suka berdandan menor, ditambah pula dengan kelakuannya yang centil bin genit manakala sedang bersama sekumpulan anak-anak lelaki. Kalau kebetulan diketahui oleh Ibu guru yang satu ini, jangan harap dapat nilai bagus di raportnya. Sekalipun otaknya encer, pasti akan diganjar angka merah.

Demikian juga mulanya dia bersikap kepada diriku. Sikap Bu Saras sama sekali tidak pernah terasa ramah. Mungkin karena aku pernah juga dihukum lantaran tidak mengerjakan tugas PR. Selain itu, sekali waktu pernah memergokiku merokok di kantin saat istirahat.

***

Hanya saja ketika duduk di bangku kelas tiga,  aku menangkap ada perubahan drastis pada sikapnya. Bermula saat pergi berwisata ke Yogyakarta. 

Kebetulan saat itu aku mendapat bis yang sama. Mungkin karena aku termasuk jajaran pengurus OSIS. Sehingga diperbolehkan satu bis bersama para guru.

Kebetulan juga karena mungkin Ibu Saras masih lajang, sedangkan guru-guru yang lain sudah berkeluarga, dan tempat duduk mereka pun dengan pasangannya masing-masing, sehingga aku diajaknya untuk satu bangku bersama Ibu guru yang cantik tapi judes itu.

Sungguh. Awalnya sungkan dan risih juga memang. Hanya saja lantaran melihat keramahan di wajahnya, ditambah dengan ajakan yang berulang, akhirnya luluh juga. Selain itu, kupikir dalam perjalanan yang cukup jauh, siapa tahu dirinya akan butuh bantuanku.

Ya, betul saja. Di tengah perjalanan, Bu Saras wajahnya tiba-tiba tampak memucat. Kemudian dengan suara lemah meminta kantong plastik kepadaku. Sepertinya mabuk perjalanan, dan mau muntah karenanya.

Guru-guru rekan Bu Saras menegurku yang hanya diam dan termangu ragu-ragu. Mereka menyuruh diriku untuk memijat tengkuk Bu Saras. Bagaimanapun aku tetap merasa sungkan. Takut disebut murid yang kurang ajar.

Apa boleh buat. Lantaran teguran itu juga akhirnya aku meminta izin darinya untuk memijatnya. 

"Kenapa nggak dari tadi?" tanya dia sambil mengeringkan matanya.

Aku tidak menjawabnya. Tapi kedua tanganku langsung hinggap di tengkuknya. Tak lupa, kukatakan, "Maaf," sebelumnya.

Sejak saat itu juga aku dengan Bu Saras menjadi akrab. Maksudnya tidak kaku seperti sebelumnya. Dan aku sendiri tetap tahu diri. Juga masih menjaga jarak. Dia guruku yang tetap harus dihormati.

***

Selama di Yogyakarta, ketika berkunjung ke berbagai objek wisata, aku selalu diminta untuk jangan jauh-jauh darinya. Alasannya takut ada apa-apa. Seperti saat di dalam perjalanan. Dengan berterus terang, akunya memang suka mabuk perjalanan.

Begitu juga saat berkunjung ke candi Borobudur. Ketika naik ke atas untuk melihat stupa, tanpa sungkan tangannya diulurkan meminta untuk dituntun. Amboi, lirikan dan sindiran teman-teman pun langsung menghujam. Tapi Bu Saras seakan tidak peduli. 

Semakin tak peduli lagi saat malam-malam, Bu Saras minta untuk ditemani jalan-jalan ke Malioboro. Katanya sih ingin mencari nasi gudeg. Mumpung di tempatnya. Begitu alasannya.

Dari raut wajahnya, terlihat rekan-rekan guru pun banyak yang tidak percaya, seperti teman-temanku juga. Mungkin dalam hatinya, mereka bertanya-tanya. Kenapa guru yang cantik tapi judes itu bisa begitu baik dan ramah pada diriku. Padahal saat itu aku sendiri merasa aneh, dan tak tahu kenapa.

Walaupun masih ada perasaan sungkan, namun lantaran nampaknya Bu Saras sendiri yang memulai, ketika di jalan tangannya menggandeng tanganku, apa boleh buat, kugenggam juga telapak tangannya dengan segala rasa yang berkecamuk dalam dada.

***

Barulah kutahu apa sesungguhnya yang telah membuat guruku yang cantik tapi judes itu menjadi berubah sikap kepadaku.

Selama dalam perjalanan dari hotel tempat kami menginap menuju Malioboro, Bu Saras mengatakan kalau diriku sangat mirip dengan tunangannya. Lalu sambil terisak, dikisahkannya saat akan dua bulan akan melangsungkan pernikahan, calon suaminya mengalami kecelakaan lalu lintas. Hingga nyawanya tidak tertolong lagi.

"Sejak pertama kali melihat dirimu, aku seakan bertemu kembali dengannya. Tapi aku sadar. Dirimu hanya memiliki kemiripan saja. Hanya saja, aku pun tak mampu mendustai hati..." ungkapnya dengan suara tersendat.

"Memangnya kenapa, Bu?" tanyaku pura-pura bego.

"Mungkinkah aku telah jatuh hati padamu?" ucapnya sambil menatap nanar ke arahku.

Aku tidak mampu berkata-kata. Hanya saja genggaman tanganku semakin erat menggenggam tangannya yang tiba-tiba terasa menjadi dingin.

Dari Malioboro kami tidak langsung kembali ke hotel. Melainkan malah menuju ke alun-alun keraton. D salah satu sudut alun-alun kami menikmati malam. Sambil bercengkrama dengan cukup leluasa. 

Ibu Saras malam itu bukan lagi seorang guru yang biasa bertampang dingin dan judes. Kepalanya disandarkan di bahuku.  Sedangkan tangannya memeluk pinggangku.

Ketika itu ia pun kembali mengulang pertanyaan yang tadi diungkapkannya.

"Mungkinkah aku telah jatuh hati padamu? Salahkah kalau aku mencintaimu?"

"Tidak. Tidak ada yang salah. Juga mungkin saja tidak ada yang tidak mungkin..." sahutku sekenanya.

"Jadi?"

Tanpa sungkan lagi aku pun berterus terang.

"Sebenarnya saya pun sejak di kelas dua sudah menaruh hati. Tapi ketika itu saya berpikir. Adalah suatu yang mustahil seorang murid mencintai gurunya dalam tanda kutip." 

"Tapi bagaimana dengan rekan-rekan Ibu, juga dengan teman-teman saya?"

"Sebaiknya untuk sementara kita harus berusaha jangan sampai diketahui oleh mereka. Di depan mereka kita harus bisa menyembunyikan yang terjadi antara kita," ujarnya.

Begitulah. Di Yogyakarta hati kami bertaut. Seorang murid telah menaklukkan hati gurunya yang sebelumnya dikenal sebagai ibu guru "Killer", dan langsung jatuh ke pelukan.

***

Ya, sejak berwisata ke Yogyakarta, hubungan kami terjalin dalam dua warna. Saat di sekolah, Ibu Saras tetap kuanggap sebagai guru yang dihormati. Tetapi ketika di luar, Saraswati adalah kekasih yang kucintai setulus hati.

Bahkan karena itu juga, semangat belajarku jadi berlipat ganda. Yang sebelumnya paling hanya mampu mencapai ranking dua, ketika ujian akhir sekolah aku berhasil meraih juara umum.

Atas dorongan dia juga aku melanjutkan pendidikan dengan mengambil jurusan yang sesuai dengan minat, serta cita-cita yang telah lama kupendam. Aku mengambil jurusan publisistik setamatnya dari SMA.

Tapi konsekuensinya kami harus berjauhan memang. Hanya saja Ibu Saras juga yang menyalakan semangatku. 

"Untuk sementara saja kita berjauhan, jika ada kesempatan kita pun dapat berjumpa kembali. Bukankah hati kita  tetap bersama?" Begitu katanya berulang kali diucapkan saat berpamitan.

Memang sejak meninggalkannya, hati kami seakan tidak terpisahkan. Surat yang dikirim dan diterima, setiap minggunya mengalir tiada henti. Hubungan LDR pun berjalan dengan sempurna.

Benarkah begitu sempurnanya?

Baru saja duduk di semester empat, suatu hari Pak Pos sebagaimana biasanya menyerahkan surat dari kampung halaman. Dari Ibu Saras yang tersayang. Hanya saja surat yang kuterima lain dari biasanya. Amplopnya lebih besar dan isinya terasa agak berat.

Ternyata saat kubuka, isinya ada dua macam. Yang satu kertas berwarna merah jambu, alias warna pink, dan satu lagi sebuah surat bersampul biru muda dengan tulisan besar dengan kata U N D A N G A N. Lalu ada lagi kata-kata Mohon  Do'a Restu. Sehingga membuatku penasaran karenanya. Terlebih lagi di baliknya tertera tulisan Menikah Dra. Saraswati dengan Ir. ... Ahhh... Aku tak mampu lagi untuk membacanya.

Untuk sesaat aku seakan kehilangan segala-galanya. Lesu tiada berdaya. Begitu juga surat dengan kertas merah jambu kubiarkan tergeletak di atas meja. Dari surat undangan itu saja sudah kuterka apa isinya.

Setelah kecamuk dalam dada sedikit mereda, kucoba untuk membaca semua yang kuterima darinya.

Tak syak lagi. Ibu Saraswati akan menikah. Lalu bla... bla... bla... Dia pun meminta maaf telah mengkhianati cinta kasih di antara kami. Dikatakannya tentang perbedaan usia yang dulu tak dipedulikannya, justru malah dijadikan dalih sebagai dinding pemisah yang sulit untuk didobrak, tulisnya.

***

Aih... Kalau ingat dengan kisah lama yang pernah kualami, aku pun bertanya-tanya. Masih hidupkah beliau, Ibu guru Saraswati yang kuhormati, dan juga pernah kucintai?

Kubayangkan, andaikan beliau masih ada, bisa jadi telah lanjut usianya. Jangan-jangan malah sudah menggunakan kursi roda. Atau mungkin juga telah tiada, kembali ke sisi-Nya... 

Namun terlepas dari itu semua, tetap saja di Hari Guru yang diperingati setiap 25 Nopember, aku akan tetap mengenangnya.

I love you, Ibu Guru... ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun