Semakin tak peduli lagi saat malam-malam, Bu Saras minta untuk ditemani jalan-jalan ke Malioboro. Katanya sih ingin mencari nasi gudeg. Mumpung di tempatnya. Begitu alasannya.
Dari raut wajahnya, terlihat rekan-rekan guru pun banyak yang tidak percaya, seperti teman-temanku juga. Mungkin dalam hatinya, mereka bertanya-tanya. Kenapa guru yang cantik tapi judes itu bisa begitu baik dan ramah pada diriku. Padahal saat itu aku sendiri merasa aneh, dan tak tahu kenapa.
Walaupun masih ada perasaan sungkan, namun lantaran nampaknya Bu Saras sendiri yang memulai, ketika di jalan tangannya menggandeng tanganku, apa boleh buat, kugenggam juga telapak tangannya dengan segala rasa yang berkecamuk dalam dada.
***
Barulah kutahu apa sesungguhnya yang telah membuat guruku yang cantik tapi judes itu menjadi berubah sikap kepadaku.
Selama dalam perjalanan dari hotel tempat kami menginap menuju Malioboro, Bu Saras mengatakan kalau diriku sangat mirip dengan tunangannya. Lalu sambil terisak, dikisahkannya saat akan dua bulan akan melangsungkan pernikahan, calon suaminya mengalami kecelakaan lalu lintas. Hingga nyawanya tidak tertolong lagi.
"Sejak pertama kali melihat dirimu, aku seakan bertemu kembali dengannya. Tapi aku sadar. Dirimu hanya memiliki kemiripan saja. Hanya saja, aku pun tak mampu mendustai hati..." ungkapnya dengan suara tersendat.
"Memangnya kenapa, Bu?" tanyaku pura-pura bego.
"Mungkinkah aku telah jatuh hati padamu?" ucapnya sambil menatap nanar ke arahku.
Aku tidak mampu berkata-kata. Hanya saja genggaman tanganku semakin erat menggenggam tangannya yang tiba-tiba terasa menjadi dingin.
Dari Malioboro kami tidak langsung kembali ke hotel. Melainkan malah menuju ke alun-alun keraton. D salah satu sudut alun-alun kami menikmati malam. Sambil bercengkrama dengan cukup leluasa.Â