Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung yang Dipadati oleh Para Asisten Rumah Tangga

22 November 2021   11:30 Diperbarui: 22 November 2021   11:39 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila menjelang hari raya Lebaran Iedul Fitri, biasanya  sejak H-5, tiba-tiba saja setiap sore hari, jalan di antara kampung kami dengan kampung sebelah akan ramai oleh lalu-lalang sepeda motor matic yang dikendarai gadis-gadis muda yang berboncengan dengan sesamanya.

Gadis-gadis usia SMP dan SMA. Ibarat bunga yang mulai mekar laiknya. Tapi mereka jangankan mengecap pendidikan sampai SMA. Bersekolah setingkat SMP saja boleh jadi hanyalah ada di angan-angannya belaka. Dan itu pun mungkin hanya muncul ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, hingga ijazah sudah di tangan.

Betapa tidak, di saat-saat sesamanya yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan hingga tingkatan menengah, atau bahkan hingga perguruan tinggi, mereka justru lebih memilih untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari kerja keras sebagai asisten rumah tangga, dan baby sitter di kota.

Tampaknya anak-anak gadis itu tidak mau kalah dengan anak-anak lelaki mudanya. Selepas menyelesaikan sekolah dasar, memang sebagian besar dari anak-anak di sekitar kampung kami berlomba untuk pergi ke kota. Bekerja sebagai buruh di pabrik, atau bahkan sampai ada juga yang menjadi kuli bangunan.

Selain dua pekerjaan seperti itu, ada pula di antaranya yang ikut  membantu kerabat atau tetangganya yang sudah terlebih dahulu berprofesi sebagai pedagang. Sambil bekerja dan mendapatkan upah, mereka pun bisa mendapatkan ilmu berdagang, serta resep-resep membuat barang dagangan yang kemudian apabila sudah merasa menguasainya, mereka pun membuka usaha sendiri.

Kebanyakan dari mereka, anak-anak muda, yang memilih sebagai calon wirausaha kuliner, di antaranya adalah jualan kue martabak di kaki lima yang tersebar di banyak kota, membuka usaha kerupuk kulit, atau jualan tahu keliling keluar masuk gang kecil.

Sedangkan mereka yang bekerja di pabrik, bukanlah di pabrik industri berskala besar. Bukan. Melainkan di pabrik golongan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), atau industri berskala kecil yang disebut juga sebagai industri rumahan yang memproduksi bahan makanan seperti tempe dan tahu, atau juga usaha yang memproduksi makanan jadi seperti kue, kerupuk, dan yang lainnya.

Adapun para majikan pemilik pabrik pun kebanyakan dari kampung yang sama. Sehingga hubungan antara buruh dengan majikannya pun tampaknya cenderung tidak formal, sebagaimana halnya yang terjadi di suatu perusahaan, atau perindustrian berskala besar. Sama sekali tidak mengenal apa itu upah minimum regiona (UMR) maupun upah minimum provinsi (UMR), apa lagi soal kerja kontrak dan sebagainya.

Dalam hal ini, hubungan antara majikan dengan pekerja di dalam usaha kecil lebih bersifat kekeluargaan. Sekalipun sesungguhnya selain ada pelanggaran hukum terkait eksploitasi pekerja di bawah umur, jam kerja yang melebihi batas waktu yang ditentukan dan upah yang di bawah standar UMR maupun UMP seringkali dapat ditemukan pada usaha level UMKM tersebut.

Sama halnya dengan yang terjadi pada anak-anak gadis yang bekerja sebagai ART, baby sitter, atau yang mengurus manula, alias orang tua lanjut usia di kota. Tak sedikit dari mereka diperlakukan dengan semena-mena. Terutama terkait dengan waktu kerja.

Banyak cerita pilu yang banyak saya dengar langsung dari mereka. Yang lebih miris lagi ada di antaranya yang pernah mengalami perlakuan tidak senonoh dari majikannya, atau keluarga majikan yang lainnya. Baik pelecehan seksual, bahkan sampai pada upaya rudapaksa.

Hal itu tentunya sudah seharusnya dijadikan catatan oleh para pemangku kepentingan. Terutama apabila kita melihatnya dari sudut pandang kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang bersandar pada UUD '45 maupun Undang-undang yang berlaku sebagai turunannya.

Memang selain ada cerita pahit dan getir seperti itu, tak sedikit juga didengar tentang seorang gadis yang bekerja sebagai ART, dan pemuda yang menjadi buruh di kota dari kampung kami yang dianggap sukses dalam kehidupannya.

Misalnya saja ada di antara mereka selain mendapatkan perlakuan  yang baik dari majikannya, mereka pun sampai dianggap sebagai bagian dari keluarga majikan sendiri. Di samping mendapat upah yang layak, pernah juga ada yang sampai disekolahkan hingga menyandang gelar sarjana.

Tapi paling tidak anak-anak muda, gadis dan pemuda yang putus sekolah, dan pergi ke kota untuk bekerja sebagai ART maupun buruh, mereka sudah bisa membantu meringankan beban orang tua. Selebihnya dapat memamerkan hasil kerja kerasnya itu dengan memiliki sepeda motor, sekalipun diperoleh dengan cara kredit juga.

 Hal itu akan tampak pabila menjelang hari raya Iedul Fitri. Di kampung kami berseliweran sepeda motor yang memadati jalanan setiap sore hari. Dikendarai gadis-gadis dan pemuda yang bekerja keras sebagai ART dan buruh di kota-kota. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun