Pekerjaan sebagai wartawan, atau saat itu dikenal dengan sebutan kuli tinta, merupakan salah satu profesi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.Â
Apabila mendapat perintah dari pimpinan untuk meliput suatu peristiwa yang terjadi kapan saja, terutama pada waktu yang bagi sebagian orang sebagai waktu untuk istirahat, atau saatnya quality time bersama keluarga, bagi seorang wartawan sepertinya hanyalah sebuah khayalan. Tugas yang harus dilaksanakan mau tidak mau harus dituntaskan saat itu juga. Tak peduli tengah malam buta sekalipun.
Tapi di tengah ketegangan saat melakukan liputan, terkadang sering juga menemukan hal yang membuat rasa geli, dan sampai tanpa sadar lagi jadi tertawa sendiri. Terlebih lagi di saat melakukan suatu liputan investigasi.
Sebagaimana yang saat itu saya alami. Dalam melakukan kegiatan liputan investigasi, pernah beberapa kali mendapat teguran dari pimpinan redaksi, melalui SMS, atau pesan singkat, lantaran panggilan telepon darinya tidak saya angkat.
Kejadiannya bermula ketika sedang melakukan liputan investigasi kasus korupsi yang diduga melibatkan kepala daerah.
Hasil liputan awal yang berdasarkan informasi sekilas dari narasumber, tapi dengan fakta yang tidak diragukan lagi, sudah naik pemberitaan. Malahan menjadi headline yang menghebohkan.
Berita itu juga yang akhirnya membuat saya seringkali mendapat ancaman, berupa telpon maupun pesan pendek dari orang yang tidak dikenal.
Tapi paling tidak saya bisa mengira-ngira. Kemungkinan besar ancaman yang sampai akan menghabisi nyawa saya itu datangnya dari para pendukung fanatiknya kepala daerah tersebut.
Mendapatkan banyak ancaman seperti itu, di satu sisi membuat saya merasa terganggu. Bukan. Bukan lantaran ketakutan. Sebab saya punya keyakinan, urusan hidup dan mati Tuhan juga yang menentukan. Yang menjadi persoalan adalah bunyi dering itu semata. Tidak tahu waktu, dan tidak ada etika. Coba kalau memang jantan, kenapa tidak langsung berhadapan.
Sementara di sisi lain, justru sebaliknya. Saya semakin bersemangat untuk menggali informasi lebih dalam lagi. Bukankah untuk memperoleh kebenaran yang hakiki harus digali sampai kedalaman yang tidak terhingga?