Dalam kehidupan ini selalu saja ditemui berbagai hal yang awalnya dianggap sebagai suatu yang tidak mungkin, bahkan mustahil bakal terjadi, akan tetapi ternyata pada akhirnya terbantahkan juga oleh fakta. Dengan kata lain, premis tidak ada yang tidak mungkin itu memang benar adanya.
Sebagaimana halnya yang tadi malam penulis saksikan sendiri.
Seorang gadis, sebut saja Bunga, namanya. Usianya 19 tahun. Asal Jakarta, dan saat ini tinggal di Kota Kembang, Bandung, ibukota Jawa Barat. Profesinya adalah wanita panggilan.Â
Konon profesi yang setua kitab suci, alias pekerja seks komersial yang melayani kliennya lewat sebuah aplikasi jejaring media sosial, dan sekarang ini di dikenal dengan sebutan cewek open BO.
Semula penulis tidak percaya kalau si gadis yang berkulit kuning langsat, dengan penampilan kekinian, serta ditambah hiasan tato di betisnya itu pernah mengenyam pendidikan di pesantren, sebelum terjun ke dunia prostitusi yang saat ini digelutinya.
Tapi setelah dia melantunkan beberapa ayat suci Al-Quran dan shalawat nabi, serta menyebutkan nama daerah di Jawa Timur tempat dirinya pernah mengaji, ditambah dengan penjelasannya tentang latar belakang dirinya sampai harus terjun ke lembah hitam, yang dikatakannya sangat mudah untuk mendapatkan uang banyak, tapi tetap saja bergelimang dosa, dan selama bercerita diselingi dengan Isak tertahan, akhirnya penulis merasa segala yang dikatakan Bunga memang benar adanya.
Sesuai dengan pengakuannya, Bunga yang baru selesai tamat SMA, dan keluar dari lingkungan pesantren yang dianggapnya begitu ketat memenjarakan dirinya dari dunia luar, saat pulang ke rumahnya dia harus menghadapi kenyataan yang cukup menyakitkan.
Karena keretakan rumah tangga orang tuanya juga akhirnya Bunga tak mampu lagi mengendalikan diri. Ibarat seekor kuda yang lama terkurung dalam kandang, tiba-tiba lepas dengan luka hati yang tak tahu bagaimana cara mengobatinya, Bunga pun berlari liar tanpa arah tujuan.
Ya, "Aku korban broken home," akunya.
Tragis memang. Selain disebabkan guncangan batin akibat keretakan rumah tangga orang tuanya, ditambah lagi dengan kondisi multikrisis sekarang ini yang melanda hampir seluruh dunia. Faktor ekonomi menjadi alasan lain yang membuat Bunga harus melakoni pekerjaan yang diharamkan agamanya.
Apa boleh buat. Di tengah hempasan gelombang dahsyat yang meluluhlantakkan kehidupan masa remajanya, ditambah dengan kesulitan untuk mendapatkan pegangan untuk sejenak menghirup nafas kehidupan, menjual diri menjadi pilihan satu-satunya.
Hanya dengan uang sebesar Rp 20 juta dirinya terpaksa melelang mahkota kehormatan yang paling berharga bagi seorang gadis, yang seharusnya diserahkan kepada suaminya saat malam pertama. Selanjutnya entah berapa puluh ribu lelaki hidung belang yang telah menjamah tubuhnya selama setahun ini.
Malam itu, ketika pengakuan yang blak-blakan dan tanpa tedheng aling-aling itu disampaikan kepada kliennya, seorang Youtuber, Reagie Alvondo, gadis itu sudah melayani dua orang lelaki hidung belang.
Bunga pun tak menyangka kalau klien yang ketiganya itu ternyata tidak bermaksud untuk memakai "jasanya", sebagaimana kesepakatan awal yang seolah transaksi jual-beli barang, yakni untuk waktu selama dua jam akan dibayar sebesar Rp 2,5 juta.
Reagie, sang Youtuber muda itu justru meminta Bunga untuk bertobat, dan berjanji untuk membiayai kebutuhan kuliah gadis open BO itu yang memang menjadi impiannya selama ini untuk kembali ke jalan yang lurus, dan bertobat sebagimana harapan kliennya tersebut.
***
Menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong mirip Youtuber kondang Atta Halilintar, yang bergerak untuk menyelamatkan generasinya dari jurang kenistaan seperti itu, ada secercah harapan dan keyakinan jika generasi milenial jauh dari prasangka sudah tidak memiliki empati dan kepedulian terhadap lingkungannya.
Hanya saja yang patut untuk diperhatikan, baik kepada Reagie Alvondo maupun anak-anak muda lainnya yang memiliki tujuan serupa, dan intinya dalam rangka berbuat kebaikan serta kebajikan, sebaiknya harus tetap berhati-hati. Paling tidak jangan sampai salah sasaran. Karena tidak menutup kemungkinan kebaikan yang ditebar dengan tulus dan ikhlas itu disalahgunakan oleh penerimanya.
Sehingga dalam hal ini, penebar kebaikan sebaiknya jangan berhenti sebatas mengulurkan tangannya saat itu saja. Melainkan perlu dipantau, bahkan kalau perlu terus diberikan bimbingan pencerahan sampai benar-benar kembali ke jalan yang benar dengan sebenar-benarnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H