Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Pidana Oknum Polri dan Jaksa Jangan Sampai Dianggap Candaan yang Tak Lucu Belaka

7 Agustus 2020   13:46 Diperbarui: 7 Agustus 2020   13:56 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tertangkapnya buronan kasus pengalihan hak tagih (Cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, ternyata telah‘memakan korban’ bagi mereka yang membantu memuluskan jalannya sang buronan kelas kakap tersebut kembali ke Tanah Air.

Sebagaimana diketahui, tiga orang jenderal polisi, masing-masing dua jenderal polisi bintang satu dan satu orang jenderal polisi bintang dua, telah dicopot dari jabatannya. 

Adapun tiga orang jenderal yang telah dicopot oleh Kapolri Jenderal Idham Azis itu adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo.

Brigjen Prasetijo, diketahui sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbitnya surat jalan untuk Djoko Tjandra. Berbekal surat jalan itulah, Dijoko Tjandra bebas keluar masuk Indonesia.

Lalu yang kedua adalah Brigjen Nugroho Slamet Wibowo pun juga dicopot dari jabatan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri.

Brigjen Nugroho diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri karena diduga menghapus red notice terhadap buronan korupsi Djoko Tjandra.

Dan yang ketiga adalah Irjen Pol Napoleon Bonaparte dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, karena diduga melanggar kode etik.

Diduga, pencopotan jabatan tersebut buntut dari adanya polemik keluarnya surat penghapusan red notice terhadap buron kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra.

Sedangkan ASN yang juga diduga ikut terlibat dalam kasus ini adalah Lurah Grogol Selatan, Asep Subahan, yang dinonaktifkan dari jabatannya oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 

Asep Subahan diketahui terbukti membantu buronan Kejaksaan Agung, Djoko Sugiarto Tjandra dalam menerbitkan KTP elektronik (e-KTP).

Sementara itu Kejaksaan Agung pun telah mencopot Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari jabatannya sebagai Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.

Hal tersebut berawal dari beredarnya foto jaksa perempuan bersama seseorang yang diduga Djoko Tjandra serta pengacaranya, Anita Kolopaking, di media sosial. Pertemuan itu diduga dilakukan di Malaysia.

Setelah memeriksa sejumlah saksi, Bidang Pengawasan Kejagung kemudian menyatakan Pinangki terbukti melanggar disiplin karena pergi ke luar negeri tanpa izin sebanyak sembilan kali di tahun 2019.

Negara tujuan Pinangki dalam perjalanan tanpa izin tersebut di antaranya ke Singapura dan Malaysia.

Oleh karena itu tuntutan agar Kejaksaan Agung tidak sekedar mencopot jaksa Pinangki dari jabatannya, tapi harus diproses secara pidana pun sontak terdengar di tengah masyarakat.

Bahkan tuntutan agar jaksa Pinangki Sirna Malasari segera diproses secara pidana, tidak hanya diungkapkan Menko Polhukam, Machfud MD, saja. 

Hal senada disampaikan Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi partai Gerindra, Habiburokhman pun menilai, Pinangki Sirna Malasari yang diduga bertemu dengan Djoko S Tjandra tidak cukup hanya mendapat sanksi pencopotan jabatan saja.

Juru bicara partai Gerindra ini menuntut Kejaksaan Agung perlu memproses pidana Pinangki atas kejadian tersebut. Sebab, hal tersebut diatur dalam Peraturan Jaksa Agung tentang Kode Perilaku Jaksa.

Demikian juga halnya dengan Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpandangan, jaksa Pinangki nyata-nyata jelas berkali-kali menemui Djoko Tjandra, buronan yang seharusnya dia tangkap, sehingga paling tidak Pasal 223 jo Pasal 426 KUHP sudah terpenuhi.

Adapun Pasal 223 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur, "Barangsiapa dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan".

Oleh karena itu, publik pun menantikan kesungguhan sikap Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin terhadap salah seorang bawahannya itu yang dianggap sudah jelas ikut terlibat dalam kasus lolosnya Djoko Tjandra dari pantauan aparat penegak hukum.

Bahkan belakangan ini, muncul juga tuntutan agar suami jaksa Pinangki Sirna Malasari diperiksa oleh pihak kepolisian, karena diketahui suami jaksa yang pernah bertemu Djoko Tjandra di luar negeri ini adalah seorang anggota kepolisian RI, yakni AKBP Napitupulu Yogi Yusuf, yang sebelumnya menjabat Kasubbagopsnal Dittipideksus Bareskrim Polri akan menduduki jabatan baru sebagai Kasubbagsismet Bagjiansis Rojianstra Slog Polri.

Dalam hal ini pula masyarakat menunggu sikap Kapolri, Jenderal Idham Azis, apakah suami jaksa Pinangki, yakni AKBP Napitupulu Yogi Yusuf akan mendapatkan sanksi lantaran dianggap telah melakukan pembiaran terhadap pasangan hidupnya melakukan pelanggaran hukum.

Karena sebagai seorang suami, bagaimanapun AKBP Napitupulu memiliki tanggung jawab, dan sudah seharusnya mengetahui kemana istrinya pergi, terlebih lagi bepergian ke luar negeri.

Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan AKBP Napitupulu pun diduga terlibat dalam kasus lolosnya Djoko Tjandra. Paling tidak, telah menutup mata dengan keterlibatan istrinya dalam kasus tersebut.

Sehingga bagaimanapun, baik Kapolri, Jenderal Idham Azis, Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, maupun Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dituntut untuk bertindak secara tegas dan lugas dalam kasus tersebut yang telah melibatkan anggotanya di institusi masing-masing.

Selain untuk memperbaiki citra institusinya sendiri, juga untuk mengembalikan kepercayaan dari masyarakat yang sudah bersikap underestimated, karena sikap lembaga penegak hukum selama ini dianggap tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Bahkan tidak sedikit publik yang beranggapan jika sikap penegak hukum dalam kasus ini hanya sekedar dagelan, atau candaan yang tidak lucu sahaja.

Jika sampai ada masyarakat yang sudah beranggapan seperti itu, apalagi artinya kalau bukan mempermalukan bangsa dan negara sendiri. 

Atau paling tidak, muncul anggapan marahnya Presiden Jokowi yang sudah terdengar sampai tiga kali itu, lantaran jajaran kabinet yang dipimpinnya tidak bekerja secara maksimal, dan bisanya cuma bercanda saja. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun