Bagaimanapun juga ketakjuban yang muncul disebabkan oleh cara penulisan novel itu seperti ditulis oleh seorang novelis yang selama ini sudah memiliki nama yang dikenal khalayak pembaca. Seperti misalnya novelis sekelas Andrea Hirata, Asma Nadia, atau juga Dee Lestari, dan yang lainnya.
Padahal dalam kenyataannya, novel itu memang jelas-jelas ditulis oleh orang yang biasa setiap hari bersama-sama memposting tulisannya di K.
Ya, salah satu contohnya adalah Saudara Aji Najiullah Thaib, atawa yang biasa disapa Ajinatha. Dalam tempo hitungan bulan saja sudah enam, ya enam novel yang dirilisnya.
Gila. Saya membatin. Usianya padahal sebaya dengan saya. Sama-sama sudah kepala enam. Hanya saja bedanya kalau Ajinatha masih punya stamina yang prima, dan kalau dimisalkan ibaratnya seekor kuda pacu yang berlari begitu cepatnya. Sementara saya sendiri tak lebih seekor kura-kura yang lamban merangkaknya.
Ya, padahal penulis sendiri, iya saya, bergabung sejak bulan Agustus 2011, dan dua bulan kemudian baru mulai berani memposting artikel untuk pertama kalinya di K. Tepatnya 4 November di tahun yang sama.
Hingga hari inipun terbukti baru delapan ratusan saja postingan di K. Coba bandingkan dengan Pak Tjiptadinata Effendi yang bergabung beberapa tahun setelah saya. Postingannya mengalir tiada hentinya saban hari.
Sungguh. Saya jadi malu sendiri. Padahal terhadap anak-anak saya selalu menganjurkan untuk menulis setiap hari.
Karena pisau pun kalau diasah tiada hentinya sudah pasti akan semakin tajam juga. Sehingga bila dipakai memotong benda yang keras pun akan dengan mudah putusnya.
Iya tokh? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H