Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan Rachmawati Soekarnoputri terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum, dianggap sebagai pengalihan isu kasus buronan kelas kakap Djoko Tjandra yang saat ini kembali menghangat.
Hal itu diungkapkan oleh politisi yang juga juru bicara partai Gerindra, Habiburokhman, yang menegaskan pihaknya sudah maksimal dalam gugatan Pilpres 2019.Â
Habiburokhman pun menyoroti kabar hasil gugatan di Mahkamah Agung yang, menurutnya, amat terstruktur. Bahkan pihaknya justru khawatir isu ini hanya untuk menutupi kasus Djoko Tjandra yang tengah ramai diperbincangkan sekarang ini.
Sebagaimana diketahui, partai Gerindra yang saat Pilpres 2019 mengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dan dalam kontestasi tersebut dikalahkan oleh rivalnya pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, pada ahirnya menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengesahkan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai pemenangnya.
Bahkan kemudian, partai Gerindra pun berkoalisi dengan pemerintah, dan Prabowo Subianto sendiri diangkat menjadi Menteri Pertahanan, serta mendapat bonus satu kursi lagi yang saat ini diduduki oleh Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Lalu kenapa Habiburokhman melemparkan statemen bahwa putusan MA tersebut sebagai pengalihan isu dari kasus buronan terpidana cessie, atau hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra, dan sejauh mana pengaruh taipan yang satu ini terhadap politik dan hukum di Indonesia ini?
Bisa jadi pernyataan politisi partai Gerindra tersebut tidak asal bunyi, dan tidak asal lempar batu saja. Tidak menutup kemungkinan Habiburokhman telah membaca secara cermat perjalanan panjang kasus yang juga menjerat mantan Gubernur BI, Syahril Sabirin itu.
Dikutip dari kompas.com, Djoko Tjandra merupakan satu dari sejumlah nama besar yang terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang pada 24 Februari 2000, Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat.
Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar.
Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai oleh R Soenarto memutuskan untuk tidak menerima dakwaan jaksa itu. Alasannya, soal cessie bukan perbuatan pidana melainkan masalah perdata.
Dengan demikian, Djoko yang akhirnya terbebas dari dakwaan telah melakukan tindak pidana korupsi ini tidak bisa lagi dikenai tahanan kota.
Atas putusan itu, JPU Moekiat mengajukan perlawanan (verset) ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Akan tetapi lagi-lagi Djoko kembali lolos dari jerat hukum. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menilai kasus Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra bukan merupakan kasus pidana melainkan perdata.
Atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut, pihak Kejaksaan Agung tidak patah arang. Kejaksaan Agung di bawah pimpinan Jaksa Agung Marzuki Darusman kemudian mengajukan kasasi ke mahkamah agung (MA).
Dalam kasasi itu, jaksa juga menguraikan kelemahan putusan majelis hakim yang menilai perjanjian cessei yang dituduhkan kepada Djoko adalah murni perdata.
Namun, lagi-lagi majelis hakim menolak kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Agung itu.
Pada 15 Oktober 2008, jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA terkait dengan terdakwa Djoko yang dinilai memperlihatkan kekeliruan yang nyata.
Menurut jaksa, putusan majelis kasasi MA terhadap Djoko, Pande, dan Syahril berbeda-beda. Padahal, ketiganya diadili untuk perkara yang sama, dalam berkas terpisah.
Upaya Kejaksaan Agung pun ahirnya membuahkan hasil. Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun.
Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali.
Tadi disebutkan bahwa Djoko Tjandra adalah direktur PT Era Giat Prima. Â Apabila PT Era Giat Prima itu ditelusuri kembali, tentunya publik pun akan kembali teringat terhadap satu sosok fenomenal yang pernah membuat heboh negeri ini dengan kasus "Papa minta saham", dan sekarang ini menjadi terpidana kasus korupsi e-KTP.Â
Siapa lagi orangnya kalau bukan mantan ketua umum partai Golkar, Setya Novanto, yang juga disebut-sebut sebagai politikus yang pandai berkelit atas berbagai kasus besar korupsi yang diduga melibatkan namanya.
Ya, sebagaimana diketahui di dalam PT Era Giat Prima itupun ternyata ada nama Setya Novanto yang ikut menjadi pemiliknya. Dan memang politikus partai Golkar yang dikenal dekat dengan keluarga Cendana ini, sudah bersahabat lama dengan buronan kasus cessie Bank Bali tersebut.
Oleh karena itu pula bukanlah suatu hal yang mustahil, apabila di dalam kasus yang menjerat Djoko Tjandra pun ada campur tangan Setya Novanto yang dikenal licin bagaikan belut, dan begitu banyak koneksinya di banyak lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam urusan hukum di negeri ini.
Sehingga kasus taipan Djoko Tjandra ini begitu berliku dan memakan waktu yang begitu lamanya, dan sampai saat ini belum juga ada kejelasan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Tidak menutup kemungkinan, apabila dianalisa dari kacamata politik, statemen yang dilontarkan Habiburokhman dapat diterjemahkan pula sebagai dorongan agar penegak hukum membongkar hingga tuntas kasus Djoko Tjandra tersebut sampai ke akar-akarnya.
Sebab tidak menutup kemungkinan masih banyak oknum pejabat yang terlibat, namun sampai saat ini belum tersentuh sama sekali.
Ya, siapa tahu. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI