Atas putusan itu, JPU Moekiat mengajukan perlawanan (verset) ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Akan tetapi lagi-lagi Djoko kembali lolos dari jerat hukum. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menilai kasus Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra bukan merupakan kasus pidana melainkan perdata.
Atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut, pihak Kejaksaan Agung tidak patah arang. Kejaksaan Agung di bawah pimpinan Jaksa Agung Marzuki Darusman kemudian mengajukan kasasi ke mahkamah agung (MA).
Dalam kasasi itu, jaksa juga menguraikan kelemahan putusan majelis hakim yang menilai perjanjian cessei yang dituduhkan kepada Djoko adalah murni perdata.
Namun, lagi-lagi majelis hakim menolak kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Agung itu.
Pada 15 Oktober 2008, jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA terkait dengan terdakwa Djoko yang dinilai memperlihatkan kekeliruan yang nyata.
Menurut jaksa, putusan majelis kasasi MA terhadap Djoko, Pande, dan Syahril berbeda-beda. Padahal, ketiganya diadili untuk perkara yang sama, dalam berkas terpisah.
Upaya Kejaksaan Agung pun ahirnya membuahkan hasil. Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun.
Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali.
Tadi disebutkan bahwa Djoko Tjandra adalah direktur PT Era Giat Prima. Â Apabila PT Era Giat Prima itu ditelusuri kembali, tentunya publik pun akan kembali teringat terhadap satu sosok fenomenal yang pernah membuat heboh negeri ini dengan kasus "Papa minta saham", dan sekarang ini menjadi terpidana kasus korupsi e-KTP.Â
Siapa lagi orangnya kalau bukan mantan ketua umum partai Golkar, Setya Novanto, yang juga disebut-sebut sebagai politikus yang pandai berkelit atas berbagai kasus besar korupsi yang diduga melibatkan namanya.