Tantang-menantang untuk berdebat saling adu argumen ihwal utang negara, antara Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), dengan ekonom Rizal Ramli (RR), sungguh-sungguh telah menarik perhatian publik.
Tidak hanya masyarakat di perkotaan saja, yang identik dengan predikat kaum berpendidikan tinggi. Warga di pelosok desa pun tidak mau kalah, seakan-akan bagaikan seorang pengamat politik yang sering tampil di layar televisi, menganalisa  persoalan yang sedang terjadi walaupun sebenarnya cenderung asal bunyi.
Sebagaimana tetangga saya. Setiap harinya bekerja sebagai buruh tani, dan kebetulan di rumahnya memiliki televisi tabung hitam-putih 14 inci. Tapi dengan munculnya wacana debat adu argumentasi antara LBP dengan RR, iapun tampil untuk ikut mengomentari.
"Seperti preman pasar yang saling berebut lahan kekuasaan saja," celetuknya saat kami bertemu di warung kopi.Â
"Daripada debat tidak jelas, akan lebih seru kalau adu panco saja sekalian," sambungnya.
"Bukan. Tapi lebih dari itu. Lebih tepat bagaikan anak-anak yang sedang berebut mainan," bantah teman yang duduk di sampingnya.
"Bagaimana tak seperti bocah. RR bilang kalau dirinya kalah dalam debat, maka dia janji gak akan mengkritik lagi pemerintah. Sebaliknya kalau dia menang, maka seluruh menteri di bidang perekonomian kabinet Jokowi, terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga LBP harus mundur, atawa diminta untuk berhenti.Â
Tapi sewaktu pihak LBP menilai  taruhan yang diajukan RR sepertinya tidak seimbang, dan meminta tidak hanya berhenti mengkritik pemerintah kalau RR kalah, serta menetapkan jadwal debat itu di hari Kamis (11/6/2020), RR sepertinya malahan menyatakan tidak akan hadir. Dia menuding pihak LBP memutuskan secara sepihak jadwal tersebut. RR bilang bahwa cara LBP itu ngawur, dan tidak jelas.
Bukankah sikap seperti itu  tidak jauh seperti bocah saja. Terutama taruhan yang diajukan RR, kedengarannya begitu naif, dan kekanak-kanakan."
"Sssttt... Jangan kelewatan seperti itu. Mereka itu tokoh penting di negara ini. Bisa-bisa kamu kena ciduk nanti," pemilik warung ikut nimbrung. Maksudnya mungkin mengingatkan.
"Lha kan kita pun mengikuti cara mereka juga. Bukankah kata ustaz juga kita-kita ini sebagai manusia jelata, selain harus taat kepada Allah dan Rasul, kepada pemerintah pun harus taat juga. Demikian juga karena pemerintah yang diwakili LBP, juga orang berilmu yang diwakili RR sikapnya seperti itu, kita pun suka maupun tidak suka harus meniru cara mereka."
"Biarpun kelak mereka masuk neraka, maka kamu pun akan mengikutinya?" sergah pemilik warung.
Mendengar perbincangan teman-teman satu kampung seperti itu, saya sendiri hanya mampu untuk terus menahan ketawa saja. Walaupun sesungguhnya terasa sulit juga. Bagaimana pun kepolosan mereka jauh berbeda dengan yang biasa didengar dari mulut para elit dan politisi di Jakarta. Sama sekali tidak memiliki pretensi apapun, dan murni keluar dari hatinya.Â
Sehingga pihak legislator bersama pemerintah pun sepertinya perlu mengkaji ulang aturan perundang-undangan nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik (ITE), ihwal ujaran kebencian yang kerap menjerat seseorang yang sudah ceplas-ceplos mengeluarkan uneg-uneg isi hatinya. Lantaran ternyata mereka pun meniru perilaku para elit di Jakarta. Sebagaimana perilaku dan ujaran RR dan LBP sekarang ini.
Terlebih lagi di masa sulit seperti sekarang ini. Akibat pandemi Covid-19, RR dan LBP bukannya bahu-membahu mengatasi penyebaran virus Corona yang dari ke hari kasus positif yang terjadi masih terus bertambah saja.Â
Sebagai seorang cendekiawan, juga akademisi dengan seabreg gelar, RR bukannya bersikap arif dan bijaksana. Sosok yang satu ini justru seperti tukang obat di pasar saja. Bahkan di matanya sepertinya kinerja pemerintah tak ada benarnya. Masih mending kalau bicaranya sesuai dengan tingkat keilmuannya. Sementara RR tak ubahnya seperti orang yang sedang menumpahkan dendam-kesumat belaka.
Demikian juga dengan LBP. Opung yang satu ini pun sepertinya memiliki kuping yang tipis. Mudah sekali emosinya naik apabila mendengar kritikan yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Jauh berbeda dengan atasannya. Presiden Jokowi sendiri meskipun dicaci dan dimaki, beliau tak pernah menanggapi. Malahan kepada orang yang menghujat dan menghina saat Ibundanya wafat pun, beliau masih mampu memaafkan.
Andaikan saja LBP bisa bersikap seperti jokowi. Membiarkan anjing menggongong dan kafilah terus berlalu... Eh, bekerja! Bisa jadi gonggongan... Eh, kritikan yang bernada melecehkan itupun akan berhenti dengan sendirinya. Iya akan capek sendiri, lantaran tidak dilayani seperti sekarang ini..
Siapa tahu... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H