Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Panjaitan dikabarkan hari ini siap untuk mengadakan debat dengan mantan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli. Adapun yang akan menjadi topik perdebatan, adalah masalah hutang negara yang saat ini dianggap sudah sangat mengkhawatirkan, dan diprediksi akan membuat bangkrutnya negara ini.
Perdebatan tersebut memang berawal dari kegaduhan yang digaungkan para pengamat ekonomi, dan membikin panas kuping Luhut Panjaitan (LBP). Sehingga Luhut pun berteriak tak kalah nyaringnya, menantang siapa pun untuk melakukan tatap muka, head to head, beradu argumentasi ihwal masalah tersebut.
Semula tantangan Luhut tak ada yang meladeni. Akan tetapi tak lama kemudian, Rizal Ramli ternyata angkat tangan setelah sebelumnya dikilik-kilik dan digelitik oleh  salah seorang mantan juru bicara mendiang Presiden ke-4, Gus Dur, yaitu Adhie Massardi, yang sekarang aktif di lembaga swadaya masyarakt (LSM) Gerakan Indonesia Bersih (GIB).
Sebagaimana diungkapkan adik dari sastrawan Noorca M. Massardi itu, Rizal Ramli (RR) siap untuk berhenti mengkritik pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin apabila dirinya kalah di dalam debat terbuka tersebut.
Akan tetapi meskipun Adhie Massardi mengatakan bahwa debat terbuka antara RR dengan LBP merupakan wujud dari berbangsa dan bernegara dalam sistem demokrasi, namun tak sedikit publik memandang perdebatan tersebut merupakan sesuatu hal yang kurang manfaatnya bagi rakyat banyak. Bahkan terkesan serupa berbual-bual di lapo tuak, atawa di warung kopi belaka.Â
Memang benar, isu terkait hutang negara saat ini, seolah-olah menjadi amunisi ampuh bagi RR dan kelompok yang selama ini dikenal sebagai barisan yang getol mengkritik pemerintah rezim Jokowi. Bahkan kelompok itu kerapkali membanding-bandingkannya dengan utang negara di jaman rezim Orde Baru.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang pemerintah hingga April 2020 mencapai Rp 5.172,48 triliun.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, total utang tersebut meningkat Rp 644,03 triliun atau 14,22 persen.
Malahan dengan terjadinya pandemi Covid-19 yang telah memasuki bulan kelima, bertambahnya utang negara yang sebetulnya tidak hanya dilakukan oleh Indonesia saja, dan bertujuan untuk menangani seluruh sektor kehidupan rakyat, Â dianggap oleh kelompok tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, alias melakukan korupsi di balik musibah yang munculnya tak terduga ini.
Padahal media internasional, The Economist pun merilis, akibat dari pandemi global Covid-19, diperkirakan sembilan puluh negara di dunia mengalami krisis keuangan dan ekonomi yang sangat menghawatirkan. Lantaran negara-negara tersebut harus mengalokasikan anggaran penanganan COVID-19 dalam jumlah besar, yang sebelumnya tak dianggarkan.Â
Kondisi tersebut diperparah oleh aliran modal keluar dari negara berkembang, yang terjadi sejak awal Januari 2020. Sehingga investor asing menghindari risiko keuangan lebih buruk, dengan menarik modal mereka kembali ke negara asalnya. Total dana yang ditarik dari pasar berbagai negara berkembang mencapai USD 96 miliar atau hampir Rp 1.500 triliun.Â
Sehingga apa boleh buat, meskipun untuk mengatasi buruknya keuangan negara akibat pandemi Covid-19 tersebut ada di antaranya yang menganjurkan untuk mencetak rupiah lebih banyak lagi, namun hal tersebut dianggap malah akan semakin memperparah kondisi keuangan negara saja. Sehingga jalan keluarnya, pemerintah lebih memilih opsi mencari lagi pinjaman kepada pihak yang selama ini menjadi donor.
Terlepas dari semakin bertambahnya beban utang negara, alih-alih ramai dikritik hingga diperdebatkan, padahal akan lebih baik lagi jika para pakar dan pemerintah di bidang perekonomian itu duduk bersama mencari formula yang lebih baik lagi untuk mengatasi krisis yang terjadi.
Sebab bagaimanapun yang namanya debat, selama ini dianggap masyarakat hanyalah sebagai panggung yang lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya bagi rakyat banyak. Betapa tidak, lantaran perdebatan - sebagaimana yang seringkali diekspos di layar televisi misalnya, bukannya beradu argumentasi berdasarkan kelimuan, sebaliknya yang terjadi hanyalah mempertontonkan ego masing-masing yang dibarengi emosi tingkat tinggi.Â
Bahkan tak jarang dalam perdebatan tersebut malah seringkali pula terjadi saling membuka aib pribadi masing-masing dalam nada cemoohan yang sudah tidak elok lagi menjadi tontonan khalayak banyak.Â
Sehingga tak pelak lagi apabila kemudian akibat dari semua itu, jangan disalahkan apabila rakyat pun semakin berani  dan bebas menghujat, tanpa sedikitpun memiliki sikap hormat sama sekali.
Salah para elit sendiri. Negara kok dianggap lapo tuak, atawa warung kopi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H