Sehingga apa boleh buat, meskipun untuk mengatasi buruknya keuangan negara akibat pandemi Covid-19 tersebut ada di antaranya yang menganjurkan untuk mencetak rupiah lebih banyak lagi, namun hal tersebut dianggap malah akan semakin memperparah kondisi keuangan negara saja. Sehingga jalan keluarnya, pemerintah lebih memilih opsi mencari lagi pinjaman kepada pihak yang selama ini menjadi donor.
Terlepas dari semakin bertambahnya beban utang negara, alih-alih ramai dikritik hingga diperdebatkan, padahal akan lebih baik lagi jika para pakar dan pemerintah di bidang perekonomian itu duduk bersama mencari formula yang lebih baik lagi untuk mengatasi krisis yang terjadi.
Sebab bagaimanapun yang namanya debat, selama ini dianggap masyarakat hanyalah sebagai panggung yang lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya bagi rakyat banyak. Betapa tidak, lantaran perdebatan - sebagaimana yang seringkali diekspos di layar televisi misalnya, bukannya beradu argumentasi berdasarkan kelimuan, sebaliknya yang terjadi hanyalah mempertontonkan ego masing-masing yang dibarengi emosi tingkat tinggi.Â
Bahkan tak jarang dalam perdebatan tersebut malah seringkali pula terjadi saling membuka aib pribadi masing-masing dalam nada cemoohan yang sudah tidak elok lagi menjadi tontonan khalayak banyak.Â
Sehingga tak pelak lagi apabila kemudian akibat dari semua itu, jangan disalahkan apabila rakyat pun semakin berani  dan bebas menghujat, tanpa sedikitpun memiliki sikap hormat sama sekali.
Salah para elit sendiri. Negara kok dianggap lapo tuak, atawa warung kopi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H