Suatu ketika, saya pernah mendengar, konon 'katanya' suku Jawa merupakan saudara tua-nya suku Sunda. Sehingga dalam perjodohan pun menjadi terlarang apabila seorang yang berasal dari suku Sunda menikah dengan orang dari suku Jawa.Â
Adapun yang menjadi alasannya, masih dalam pusaran 'katanya' juga, karena selain dianggap melanggar tata-susila, juga dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap sabda yang diamanatkan leluhurnya.
Apabila larangan itu dilanggarnya, maka - katanya lagi, kehidupan rumah tangga pasangan suku Sunda dengan Jawa itu tidak akan mendapatkan kebahagiaan, dan tidak akan langgeng.Â
Akan tetapi, 'katanya' yang berkelindan di seputar mitos itu ada pula versi yang berangkat dari kisah tragedi palagan perang Bubat tempo doeloe, yakni pertempuran antara pasukan dari kerajaan Majapahit dengan pasukan dari kerajaan Sunda-Galuh, yakni sebuah kerajaan yang terletak di kabupaten Ciamis sekarang ini.
Adapun pertempuran antara Majapahit dengan Sunda-Galuh itu disebut sebagai palagan Bubat, sebab peperangan tersebut terjadi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Bubat, yang berdasarkan catatan sejarah merupakan nama sebuah tempat di Majapahit.Â
Negarakrtagama menyebut Bubat sebagai padang rumput di sebelah utara kediaman kerajaan, yang digunakan untuk acara olahraga tahunan.Â
Sementara Kidung Sunda menyebutnya sebuah pelabuhan-sungai dari ibukota Majapahit.Â
Nigel Bullough, seorang naturalis asal Inggris yang berganti nama jadi Hadi Sidomulya, dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca menyebut Bubat berada di sebelah selatan kali Brantas, mungkin desa Tempuran –dahulu 10 km di sebelah utara Majapahit dan sekitar 8 km baratdaya pelabuhan di Canggu.
Sedangkan yang menjadi latar belakang terjadinya perang Bubat itu sendiri bermula dari ketertarikan raja Majapahit, yakni Hayam Wuruk, terhadap kecantikan seorang Puteri dari kerajaan Sunda-Galuh, yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Sehingga Hayam Wuruk berkeinginan untuk mempersuntingnya, dan menjadikan putri dari kerajaan Sunda-Galuh tersebut sebagai permaisurinya.
Sang raja pun mengirim surat yang diantar oleh seorang mantri bernama Madhu untuk melamar Dyah Pitaloka, yang bila lamaran itu disetujui, maka pernikahan akan digelar di Majapahit.
Pihak Kerajaan Sunda sendiri awalnya merasa keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, karena tidak lazim bila calon pengantin wanita datang menyerahkan diri ke pihak pengantin laki-laki. Selain itu ada kekhawatiran bahwa pernikahan ini merupakan jebakan diplomatik dari Majapahit untuk menguasai tanah Sunda lewat jalur pernikahan.Â
Namun Raja Linggabuana akhirnya mengalah, mengingat pernikahan ini sebenarnya juga berdampak positif bagi Kerajaan Sunda apabila bisa bersekutu dengan Majapahit yang kala itu sedang bersinar. Apalagi tersiar kabar bahwa Hayam Wuruk sebenarnya masih memiliki darah Sunda karena ayahnya, Rakeyan Jayadarma, adalah orang Sunda dari Kerajaan Galuh.
Dengan pengawalan pasukan kecil yang disebut Pasukan Balamati, sejumlah menteri, dan pelayan wanita, Maharaja Linggabuana beserta permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka berangkat menuju Majapahit. Melalui jalan darat ke Pelabuhan Cirebon. Dari Cirebon perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal laut kerajaan. Setelah kapal berlabuh, rombongan menuju Desa Bubat, rombongan ini kemudian beristirahat dan membangun kemah.
Persoalan kemudian timbul, karena Mahapatih Gajah Mada yang datang menemui rombongan ini meminta Kerajaan Sunda untuk menyatakan takluk kepada Kerajaan Majapahit dan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka nantinya menjadi tanda dari penyerahan kedaulatan tersebut.
Pernyataan Gajah Mada itupun langsung membangkitkan amarah raja Linggabuana. Sehingga pertempuran pun kemudian tak terhindarkan lagi.
Gajah Mada bersama pasukan Bhayangkara yang dipimpinnya terbukti jauh lebih kuat, apalagi mereka unggul dalam jumlah. Seluruh laki-laki dalam rombongan Kerajaan Sunda, termasuk Raja Linggabuana berhasil dibunuh.
Putri Dyah Pitaloka sempat meratapi kematian ayahnya, sebelum melakukan bunuh diri yang segera diikuti oleh seluruh perempuan dalam rombongan tersebut. Dalam tradisi Kerajaan Sunda di masa lalu, bunuh diri semacam ini disebut dengan istilah Bela Pati, yaitu bunuh diri untuk membela kehormatan negara sekaligus menghindarkan diri dari kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Tragedi Perang Bubat akhirnya merusak hubungan antar kedua negara. Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Pitaloka yang ditinggal di Istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena masih terlalu kecil, menjadi satu-satunya keturunan Raja yang hidup dan belakangan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya di masa depan antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit.
Di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda kemudian diberlakukan larangan untuk tidak menikahi orang Majapahit. Peraturan ini lantas berkembang lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Begitulah awal mula munculnya mitos dilarangnya perjodohan antara Sunda dengan Jawa tersebut.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, mitos tersebut, pada akhirnya pudar juga, tergerus oleh nalar, dan kehidupan sosial dan budaya yang telah berkembang sedemikian pesatnya.
Hal itu dapat dibuktikan oleh keluarga kami sendiri. Anak perempuan pertama kami, atawa anak kedua, karena anak yang sulung adalah seorang cah Lanang (Cailah, sudah bisa ngomong bahasa Jawa euy), ternyata mendapatkan jodohnya seorang perjaka keturunan asli suku Jawa. Tepatnya leluhur anak-menantu kami itu dari Kediri, Jawa timur.Â
Hingga sekarang ini rumah tangga anak kami baik-baik saja. Terbukti dari pernikahan itu sudah memberikan dua orang cucu yang ganteng-ganteng bagi kami.
Demikian juga dengan salah seorang paman, adik dari ibu saya, berjodoh dengan seorang wanita dari Sleman, Yogyakarta. Tinggal nya dan hidup berumah tangga selama ini di Jakarta. Sudah beranak-pinak. Â Tampaknya rumah tangga beda suku itu bahagia, dan langgeng adanya.
Bahkan sesungguhnyalah apabila setiap warga negara Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa, yang berbeda agama, bahasa, dan budayanya itu memegang teguh falsafah Pancasila, dan merawat bhinneka tunggal ika dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sekat-sekat yang bermula dari mitos masa lampau itu sudah semestinya dilenyapkan dari kepala masing-masing yang beridentitas warga negara Indonesia.
Bukanlah orang Manado bilang, "Kitorang samua basudara!" ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H