Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Gawai Sudah Menjadi Urusan Nomor Satu dalam Kehidupan

26 Mei 2020   13:28 Diperbarui: 26 Mei 2020   13:48 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Antara foto/Dewi Fajriani)

Sepertinya pepatah lama yang berbunyi, Buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya, masih relevan dengan topik yang sedang dibahas saat ini.

Setiap apa yang dilakukan seorang anak, biasanya meniru dengan apa yang dilakukan orang tuanya. Hayo, siapa yang masih mau menyangkalnya?

Fenomena gawai selalu dalam genggaman, dewasa ini tidak hanya di kota saja. Di pelosok kampung yang nun di lereng gunung pun, sepertinya sudah bukan suatu hal yang aneh lagi bila bocah baru bisa merangkak pun sudah mendapatkan mainan berupa gawai, atau biasa mereka sebut "henpon", dari orangtuanya.

"Yang penting asal anteng. Tidak rewel, dan mengganggu urusan orang tua," begitu biasanya argumentasi yang sering terdengar.

Urusan orang tua? Hellow...! Apa tidak salah dengar tuh?

Lantaran biasanya perkara yang disebut "urusan orang tua", kalau ibu-ibu masak di dapur, dan mengurus urusan rumah tangga lainnya, sementara ayahnya pastinya juga mencari nafkah atau paling tidak membetulkan genteng yang bocor, tentunya.

Sedangkan yang terjadi sekarang ini, ayah maupun ibunya pun sepertinya sama saja pada asyik bermain game, atau nonton YouTube, atau ber-medsos-ria .

Masih mending kalau Facebook-an, atawa ngobrol lewat group WA-nya itu sekedar soal keseharian, tapi kalau sudah nyinyir dan memaki-maki Presiden misalnya, maka urusannya pun bisa runyam.

Runyam dan rumit memang urusan gawai tersebut jika sudah bicara sampai pada perkara manfaat dan mudharat, maupun aman dan bahayanya. Kebanyakan warga +62 tahunya hanya sebatas karena sudah jamannya, plus tetangga sekitar pun sudah pada memilikinya. Mengapa tidak, kita pun terpaksa harus membelinya. Walaupun dengan cara kredit, dan barangnya seken juga.

Pokoknya jangan sampai disebut sebagai orang yang ketinggalan jaman. Titik.

Sebagaimana yang saya lihat pada tetangga sebelah rumah saja. Suami dan istri, juga dua orang anaknya, sepertinya gawai, atawa henpon itu sudah tidak bisa dilepaskan lagi dari kehidupannya. 

Padahal kehidupan ekonomi keluarga itu boleh dibilang pas-pasan saja. Suaminya hanyalah seorang buruh harian lepas, dan seperti lazimnya perempuan di kampung, istrinya hanya sebagai ibu rumahtangga saja. 

Tapi hebatnya pasangan keluarga itu selain aktif bermedia sosial, mereka pun seringkali saya saksikan berkomunikasi lewat henpon (HP). 

Padahal yang mereka bicarakan urusan yang sepele saja, misalnya saat suaminya sedang bekerja di sawah keluarga kami, istrinya berulangkali menghubunginya.

Adapun pembicaraan mereka yang tanpa sengaja saya dengar antara lain adalah, 

"Kang, sudah makan?"

"Jangan lupa sisanya dibawa pulang, ya?!" Begitu suara istrinya dari seberang sana. Tentu saja suaminya pun merasa terganggu, dan tersipu malu oleh sesama kawannya yang tampak giat mencangkul, maupun oleh saya yang mengawasi mereka.

Ya, urusan perut saja seringkali harus berbagi dengan jatah suaminya itu. Sementara urusan pulsa dan kuota untuk menghidupkan HP-nya, mau tidak mau sudah pasti harus menghabiskan anggaran dari upah hasil bekerja sang suami dari pagi hingga tengah hari. 

Kalau urusan pulsa dan kuota sudah terpenuhi, sepertinya keluarga itu adem-tengtrem, dan tampak hepi-hepi saja.

Lain lagi ceritanya jika suaminya sedang nganggur. Tetangga saya yang lainnya sampai mengibaratkan suasana rumah tangga itu seperti Palestina dan Israel saja, yang bertikai tiada hentinya.

Terlebih lagi bila anaknya yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, merengek-rengek lantaran kuota Internetnya sudah habis.  

Sedangkan uang di kantong mereka pun sepertinya sudah tak tersisa lagi. Adalah suatu pemandangan yang sudah tak asing lagi bagi kami bila menyaksikan pasangan suami-istri itu hilir-mudik dan keluar-masuk rumah tetangga sekitar hanya untuk mendapatkan uang pinjaman. 

Iya demi belanja pulsa dan kuota internet HP anaknya yang sudah sedemikian kecanduannya nonton YouTube dan sejenisnya.

Jika sudah seperti itu potret kehidupan bangsa ini, apa kata dunia? ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun