Padahal kehidupan ekonomi keluarga itu boleh dibilang pas-pasan saja. Suaminya hanyalah seorang buruh harian lepas, dan seperti lazimnya perempuan di kampung, istrinya hanya sebagai ibu rumahtangga saja.Â
Tapi hebatnya pasangan keluarga itu selain aktif bermedia sosial, mereka pun seringkali saya saksikan berkomunikasi lewat henpon (HP).Â
Padahal yang mereka bicarakan urusan yang sepele saja, misalnya saat suaminya sedang bekerja di sawah keluarga kami, istrinya berulangkali menghubunginya.
Adapun pembicaraan mereka yang tanpa sengaja saya dengar antara lain adalah,Â
"Kang, sudah makan?"
"Jangan lupa sisanya dibawa pulang, ya?!" Begitu suara istrinya dari seberang sana. Tentu saja suaminya pun merasa terganggu, dan tersipu malu oleh sesama kawannya yang tampak giat mencangkul, maupun oleh saya yang mengawasi mereka.
Ya, urusan perut saja seringkali harus berbagi dengan jatah suaminya itu. Sementara urusan pulsa dan kuota untuk menghidupkan HP-nya, mau tidak mau sudah pasti harus menghabiskan anggaran dari upah hasil bekerja sang suami dari pagi hingga tengah hari.Â
Kalau urusan pulsa dan kuota sudah terpenuhi, sepertinya keluarga itu adem-tengtrem, dan tampak hepi-hepi saja.
Lain lagi ceritanya jika suaminya sedang nganggur. Tetangga saya yang lainnya sampai mengibaratkan suasana rumah tangga itu seperti Palestina dan Israel saja, yang bertikai tiada hentinya.
Terlebih lagi bila anaknya yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, merengek-rengek lantaran kuota Internetnya sudah habis. Â
Sedangkan uang di kantong mereka pun sepertinya sudah tak tersisa lagi. Adalah suatu pemandangan yang sudah tak asing lagi bagi kami bila menyaksikan pasangan suami-istri itu hilir-mudik dan keluar-masuk rumah tetangga sekitar hanya untuk mendapatkan uang pinjaman.Â