Hilal telah tampak, demikian dikatakan pembaca berita di layar televisi sore tadi. Sesuai hasil sidang Isbat Kementerian Agama bersama para ahli dari BMKG, MUI, NU, dan Muhammadiyah, hari raya Iedul Fitri 1 Syawal 1441 H jatuh pada hari Minggu.Â
Artinya Lebaran tahun ini dilaksanakan besok hari, dan puasa hanya tinggal satu hari ini lagi saja.
Sedang apakah anak dan istriku sekarang di kampung halaman?
Sungguh. Pertanyaan itu senantiasa muncul dalam pikiran. Sehingga membuat shalat pun tak khusyuk lagi. Begitu juga saat berbuka puasa, wajah-wajah mereka terbayang terus di depan mata.
Walapun dalam video call terahir kemarin siang istriku mengatakan ikhlas jika lebaran kali ini tidak berkumpul sebagaimana lebaran-lebaran sebelumnya, namun di balik senyumannya di layar handphone sekilas aku menangkap kemurungan dari sorot matanya.
Demikian juga dengan Alina, putri semata wayang kami. Di usianya yang baru enam tahun, meskipun dia selalu mengatakan papanya ini sedang berjuang demi dirinya di tempat yang jauh ini, di Jakarta ini, dan selalu mengatakan, "Asal jangan lupa peluk cium buat Alina dan Mama biarpun dari jauh juga," yang biasanya aku rasakan sebagai pemantik api semangat hidup, kali ini justru kumaknai sebaliknya.
Kalimat yang selalu dikatakan puteri semata wayang kami, itu sebagai suatu ungkapan kekecewaan seorang anak terhadap ayahnya yang selalu jauh dan lama meninggalkannya.
Apalagi dengan lambaian tangan terahirnya saat kami hendak menutup percakapan, di mataku yang terbayang telunjuk mungilnya  itu seolah menuding ke arah wajahku sebagai seorang ayah yang tak berperasaan.
Semua karena Covid-19.Â
Ambyar sudah semua yang kami rencanakan jauh hari sebelum virus corona mewabah di negeri ini.
Seperti lebaran-lebaran sebelumnya, lebaran kali ini rencananya yang djbicarakan sejak jauh hari, akan kami rayakan bersama istri dan anak semata wayang kami. Usai bersilaturahmi dan sungkeman kepada kedua orang tua kami, kami bertiga akan berwisata ke pantai Cipatujah.