Seorang tetangga yang tak pernah absen menghadiri majelis taklim, setiap ditanya tentang materi ceramah yang disampaikan ustaz, maka jawabnya adalah, "Ya, begitulah." Tanpa penjelasan lebih lanjut lagi.
Mendengar jawaban seperti itu, bisa jadi merupakan sesuatu hal yang membingungkan. Atau paling tidak menganggap bahwa tetangga kami tersebut, meskipun rajin menghadiri majelis taklim, tapi tak pernah menyimak setiap materi yang disampaikan ustaz, atawa da'i dalam kegiatan pengajian yang biasa diselenggarakan secara mingguan itu.
Tidak menutup kemungkinan akan muncul juga syakwasangka, jika tetangga kami itu sebenarnya datang ke majelis taklim bukan untuk menambah pengetahuan keagamaan, melainkan ada motivasi lain di baliknya.Â
Misalnya saja hanya untuk membunuh waktu, daripada menganggur tak menentu, atawa  bisa saja agar jangan sampai disebut ustaz sebagai orang yang  antiagama.
Entahlah. Saya sendiri tak mampu menduga-duga lebih jauh lagi. Selain hanya buang waktu, juga takut disebut sebagai pendosa saja.
 Bukankah berburuk sangka, atawa su'udzon itu kata ustaz pun merupakan suatu perbuatan yang termasuk tidak boleh, alias dilarang dilakukan oleh setiap orang yang beriman?
Sebagaimana Firman Allah Swt, "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang" , [QS Al-Hujuraat : 12].
Akan tetapi sepertinya sikap buruk sangka ini sudah menjadi fenomena, dan tampaknya telah menjangkiti diri setiap orang sekarang ini.Â
Misalnya saja saat kita sedang nongkrong di pinggir jalan, tetiba ada seseorang lewat di depan kita. Selain tidak mengucap salam, cara jalannya pun tampak bak preman yang petantang-petenteng sedang mencari lawan.
Tak syak lagi maka dalam hati akan muncul kesan pertama terhadap orang tersebut sebagai orang yang sombong dan angkuh. Kemudian diikuti perasaan kesal dan sebal.
"Cih! Â Lagaknya..." Begitu kira-kira yang terbersit dalam hati selanjutnya. Bahkan boleh jadi akan terlontar menjadi sebuah komentar.
Namun ketika ada orang lain yang kemudian memberikan penjelasan, kenapa orang yang tadi lewat tidak mengucap salam, bahkan gaya berjalannya pun bak Mike Tyson yang hendak bertarung di atas ring, ternyata oh ternyata orang itu adalah penyandang disabilitas. Sejak lahir menderita bisu dan tuli!Â
Demikian juga kenapa cara berjalannya pun seperti itu, dijelaskannya lagi kalau orang itu pun sejak lama menderita hernia.
Akhirnya, apa kata dunia?Â
Paling tidak kemudian secara spontan kita pun akan mengeluarkan seruan, "Oh!" Tapi jika masih memiliki iman dan empati, maka diam-diam akan timbul rasa sesal yang dalam di hati kita, lantaran sebelumnya sudah berburuk sangka, bahkan mencaci-maki meskipun sebatas dalam hati.Â
Untung saja hanya sebatas itu saja. Coba kalau sampai lebih jauh lagi menyikapinya. Misalnya saja karena seakan merasa ditantang, amarah pun langsung menggelegak dan tanpa pikir panjang, kita menghajarnya sampai babak-belur.
Hadeuh. Urusan pun ahirnya akan semakin runyam. Selain harus berurusan dengan hukum, kita pun harus membayar biaya pengobatan orang yang tadi kita hajar itu.
Maka bisa jadi penyakit buruk sangka pun akan lebih besar bahayanya dari virus corona lho.
Semoga sikap itu dijauhkan dari dalam hati, dan jangan sampai terulang kembali.Â
Ingat pesan tayangan iklan di TVRI di masa lalu: Teliti sebelum membeli. Boleh jadi identik dengan "Jangan berburuk sangka kalau belum mengetahui persoalan/keadaan yang sesungguhnya.Â
Oke? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H