Ibu guru kami ketika itu didatangi orang tua salah seorang siswi anak didiknya, yang juga merupakan teman sekelas saya.
Orang tua teman saya itu melaporkan bahwa suami ibu guru, yang notabene merupakan kepala sekolah kami, telah menghamili anaknya.
Setelah laporan itu dikonfrontir  dengan suaminya, dan apa boleh buat suaminya tak lagi bisa mengelak, saat itu pun ibu guru kami langsung meminta suaminya untuk menikahi teman kami tersebut.
Meskipun kasus tersebut cukup menghebohkan, tapi tidak sampai dilaporkan kepada pihak aparat kepolisian. Hanya yang jelas, keesokan harinya ibu guru kami minta cerai dari suaminya.
Tak lama kemudian, suaminya sudah tidak menjadi kepala sekolah di SMP kami lagi. Sementara isterinya masih tetap mengajar kami, walaupun kami melihat keadaannya jadi berubah dengan begitu drastisnya.
Setelah peristiwa itu, ia tampak selalu murung. Seakan tak ada gairah hidup lagi. Cara mengajarnya pun asal-asalan saja.
Beberapa bulan kemudian beliau jatuh sakit keras, dan sampai ahirnya meninggal dunia.
Sungguh tragis memang.
Tidak menutup kemungkinan istri oknum guru di Blitar pun saat ini tengah mengalami goncangan batin - sebagaimana dialami mendiang ibu guru kami saat di SMP waktu itu.
Bagaimanapun tabah dan sabarnya seorang wanita, jika sudah berkali-kali dikhianati, akan terakumulasi juga menjadi amarah yang tak tertahankan. Sehingga apabila kemarahan itu terus dipendamnya, tidak menutup kemungkinan akan bernasib seperti almarhum ibu guru bahasa Inggris kami.
Sehingga saya sendiri merasa salut dengan sikap istri oknum guru di Blitar itu. Dia bisa melepaskan dendam dan amarahnya dengan caranya sendiri. ***