Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arogansi Anies Baswedan yang Tak Peduli terhadap Seniman dan Budayawan

18 Februari 2020   10:23 Diperbarui: 19 Februari 2020   16:14 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, gelombang protes menentang revitalisasi pusat kesenian dan kebudayaan Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Pemprov DKI Jakarta, seakan tiada henti dilakukan para seniman dan budayawan.

Sudah tiga bulan lebih Forum Seniman Peduli TIM, yang dipimpin budayawan Radhar Panca Dahana dan Noorca M. Massardi, yang mengusung tagar #saveTIM itu tanpa lelah melakukan berbagai aksi menolak Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019, yang memberi kewenangan kepada BUMD Pemprov DKI Jakarta, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola TIM, kelak ketika usai kegiatan pembongkaran dan pembangunan, yang tengah berlangsung sekarang ini.

Disebutkan, Jakpro yang tugas pokoknya merawat gedung-gedung DKI itu, nantinya diserahi tugas untuk mengkomersialkan seluruh ruang dan bangunan, menarik penghasilan dari penyewaan 200 kamar hotel, dari area parkir bawah tanah seluas lapangan bola, serta dari media iklan elektronik luar ruang yang akan dipasang di tempat-tempat strategis di kawasan TIM.

Kebijakan Anies Baswedan tersebut, menurut Noorca M. Massardi bertolak belakang dengan maksud dan visi almarhum Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), di saat mendirikan TIM sebagai rumah ekspresi seniman dan budayawan.

Paling tidak dalam hal ini pun Anies dianggap telah melakukan kekeliruan yang sama dengan setiap program revitalisasi yang telah dilaksanakannya selama ini. Mulai dari revitalisasi pedesterian, monumen nasional, (Monas), dan sejumlah program revitalisasi yang lainnya, yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak masyarakat banyak.

Bahkan dalam revitalisasi TIM, yang sejatinya sebagai rumah ekspresi seniman dan budayawan - sebagaimana ditegaskan almarhum Bang Ali, di dalam perencanaan dan pelaksanaannya pun tidak melibatkan kelompok masyarakat tersebut, yang notabene sebagai "tuan rumah" sejak bekas bekas Taman Raden Saleh itu didirikan pada 1968.

Sehingga tak salah bila seorang Radhar Panca Dahana, tanpa tedeng aling-aling menuding Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak mau mendengar suara para seniman yang memprotes revitalisasi.

Radhar mengatakan, Anies Baswedan dan jajarannya menolak ditemui para seniman, dan pihak Pemprov DKI menutup komunikasi dengan mereka.

"Kita sudah bicara dengan anak buahnya, deputinya, sekdanya, Jakpro, kita ke DPRD, tapi Gubernur budeg! Nggak mau denger, kita cuma mau bilang ayo kita ngomong, susahnya apa ngomong, nggak mau ngomong," ujar Radhar usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR mengenai revitalisasi TIM di DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2020).

"Karena budegnya itu tiba-tiba dibentengi semua tim itu kita enggak boleh masuk, di dalam dia menghancurkan semua yang selama ini menjadi rumah ibadah kita (pusat kebudayaan di TIM)," sambung Radhar.

Dia menuding Pemprov DKI tidak memahami kebudayaan sehingga dibuat hancur dengan revitalisasi TIM tersebut. Dia juga menilai Pemprov DKI arogan terhadap kelompok seniman. Apalagi sampai menutup komunikasi.

"Jadi apa yang dihancurkan gedung-gedung itu oleh Jakpro, sebenarnya yang dihancurkan bukan hanya fisik dan materi saja, tetapi jiwa dari para seniman dan budayawannya, karena 2 tahun mereka akan nganggur enggak ngapa-ngapain," tegas Radhar.

Dia juga tak terima para seniman dianggap sebagai beban APBD. Dia menilai hal ini merupakan cara berpikir yang keliru.

Sementara Anies Baswedan sendiri dalam menanggapi protes yang dilakukan para seniman dan budayawan tersebut, beranggapan ada perbedaan imajinasi antara pihaknya dan para seniman yang keberatan terkait revitalisasi TIM atau Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.

"Soal pembangunan TIM ini kalau imajinasinya berbeda repot. Orang-orang membuat imajinasi, lalu kami yang disalahkan," kata Anies di Jakarta, Jumat, 29 November 2019.

Karena imajinasi yang berbeda tersebut, kata Anies, akhirnya ada penentangan dari para seniman terkait pembangunan hotel bintang lima dan masuknya PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sebagai pengelola kawasan budaya dan kesenian itu.

"Karena imajinasi soal TIM yang kita buat beda dengan imajinasinya (para seniman), maka itu kami disalahkan," tuturnya.

Padahal, tutur Anies, Pemprov DKI Jakarta berencana menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat kesenian dan kebudayaan bertaraf internasional. Sehingga nantinya hadir di TIM itu adalah pelaku-pelaku kebudayaan dari seluruh dunia.

Dengan pembangunan hotel dan wisma, para seniman dari berbagai belahan dunia tak perlu repot mencari penginapan bila berkunjung ke Jakarta.

"Pelaku seniman dunia itu datang ke Jakarta tidak tinggal di luar (komplek TIM), tapi bisa di dalam. Selama 24 jam di situ," sambungnya.

 Beda pandangan antara para seniman/budayawan dengan Anies Baswedan, terkait revitalisasi TIM ini menunjukkan suatu fakta yang jelas, bahwa tudingan seniman/budayawan terhadap Gubernur DKI Jakarta yang hendak mengkapitalisasi "rumah" mereka, adalah benar adanya.

Anies Baswedan yang berlatar belakang seorang akademisi, dan notabene dianggap publik memahami humaniora, ternyata pola pikirnya cenderung berfikir sesat, dan lebih mengedepankan profit, atawa keuntungan material belaka.

Dan tampaknya jauh berbeda dengan almarhum Ali Sadikin, yang berlatar belakang seorang militer, dan di mata publik cenderung berwatak keras, dalam kenyataannya begitu memiliki apresiasi yang tinggi terhadap tumbuh-kembangnya seni dan budaya.

Sehingga suatu hal yang wajar pula apabila para seniman dan budayawan, dengan tegas memprotes program mantan Mendikbud tersebut, dan mengadukan permasalahan tersebut ke Komisi X DPR.

Apakah protes para seniman dan budayawan yang sudah disampaikan kepada wakil rakyat di Senayan itu akan mengubah pandangan Anies Baswedan, menghentikan revitalisasi TIM, atawa tetap bergeming seperti selama ini?

Apabila sikap Anies Baswedan  tetap "budeg" dan arogan -- sebagaimana disebutkan Radhar Panca Dahana, bisa jadi gelombang protes yang ditujukan terhadap yang bersangkutan tak akan pernah berhenti dilontarkan, atawa paling tidak akan tercatat di dalam sejarah, bahwa Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, terbukti seorang yang tak memiliki apresiasi terhadap seni dan budaya sama sekali.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun