Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Curug Gedong, Wanawisata Jejak Penjajahan Belanda

10 Januari 2016   22:29 Diperbarui: 11 Januari 2016   06:18 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Curug (Air terjun) Gedong (Dok. pribadi)"][/caption]

Minggu, 10 Januari 2016 : 06.30 WIB saya hampir selesai mencuci sepeda motor trail yang kemarin dipakai ke kebun, untuk melihat perkembangan bibit pohon akasia yang ditanam sebulan lalu saat menjelang musim hujan.  Sisa-sisa tanah yang menempel di ban sudah hampir hilang, dan ‘kuda binal’ pun tampak kembali kinclong. Tetapi rasa penasaran menguji adrenalin masih terasa demikian tinggi.

Jarak dari rumah ke kebun hanya sekitar 1,5 km. Jalan yang dilewati, meskipun jalan setapak, tapi konturnya kurang menantang.  Karena letak kebun milik keluarga kami hanyalah di perbukitan yang landai memang. Maka ketika mata saya menatap nun ke deretan gunung di utara, muncul niat untuk berpetualang , sekedar mencari udara segar, dan menikmati keindahan alam pegunungan.

Hanya saja saya masih menimang-nimang, kira-kira daerah pegunungan mana yang jadi tujuan. Bila menyusuri jalan beraspal menanjak ke arah utara,  melewati desa Guranteng, lalu Sindangbarang, yang dikatakan Pepih Nugraha, terletak di "atap dunia", kemudian setelah itu, sekitar 2 km dari Sindangbarang – sebuah desa di wilayah Kabupaten Ciamis paling utara, setelah memasuki perbatasan Kabupaten Majalengka di sebelah selatan, sebenarnya akan ditemui sebuah destinasi wisata alam yang dinamakan orang sekitar sebagai Taman KNPI. Bisa jadi karena Organisasi pemuda itulah yang menjadi pelopor terwujudnya wisata alam tersebut. Hanya saja bagi orang setua saya, tempat itu sepertinya tidak cocok.

Bukan karena alamnya sudah rusak, bukan, melainkan sesuatu yang tidak menutup kemungkinan akan merangsang hasrat untuk kembali muda lagi. Betapa tidak, karena di taman itu seringkali dijumpai muda-mudi yang sedang memadu-kasih. Apalagi di hari Minggu seperti sekarang ini, kemungkinan besar taman itu di setiap gerumbul semaknya akan ditemui remaja yang dimabuk cinta. Ah, sepertinya akan lebih baik ke arah barat laut saja, yakni ke sebuah lereng yang diapit gunung Putri dan Gunung Cakrabuana, yaitu Bunar. Dari Pagerageung ke arah sana jaraknya paling hanya sekitar 3 km saja.

Dengan melewati desa Nanggewer, lalu naik ke arah barat, masuk kampung Nyalenghor, dan setelah melewati kebun kopi milik warga, bertemu lagi dengan sebuah kampung bernama Pangkalan, sementara jalan yang dilalui semakin menanjak dan berkelok-kelok. Setelah melewati kampung Pangkalan, pemandangan akan mengingatkan pada sawah yang seperti di Bali, sedangkan di kiri jalan tampak dinding  tebing yang penuh dengan semak dan pepohonan, tak lama kemudian, di antara pesawahan akan terlihat terselang oleh hamparan pohon teh.

 

[caption caption="Hamparan kebun teh di kawasan Bunar (dok. Pribadi)"]

[/caption]

Jalan yang hanya bisa masuk untuk mobil ukuran kecil itu masih menanjak dan berkelok tajam. Areal pesawahan pun tak tampak lagi. Di kiri kanan jalan bertebing sedikit landai, terhampar pepohonan teh yang rimbun menghijau. Suhu udara terasa semakin dingin, padahal matahari yang sedikit malu-malu sudah menampakkan diri di sebelah belakangku.

Lima menit kemudian terlihat perkampungan. Dan itulah yang disebut kampung Bunar. Perkampungan terahir yang ditemui di kawasan itu. letak pemukiman di sebelah kanan berada di bawah jalan, bersambung dengan deretan kedua rumah-rumah itu di bawahnya lagi. Sedangkan di sebelah kiri jalan, rumah penduduk yang seluruhnya terdiri dari 60 KK itu berada di atas tebing dan berderet terus ke atas mengikuti kontur tanah sebagaimana lazimnya wilayah pegunungan.

Jejak Penjajah Belanda di Atas Curug Gedong  

Di tengah perkampungan, jalan yang akan dilalui tanjakannya hampir mencapai 60 derajat , dan panjangnya ada sekitar seratus meter, dengan lebar ada  1,5 meter. Sudah tentu kendaraan roda empat tidak akan bisa melaluinya. Sedangkan bagi saya justru menjadi suatu hal yang menantang untuk memacu ‘kuda binal’made in Japan,  karena memang  trek semacam itulah yang bisa menjadi ajang uji adrenalin.

Menurut penuturan seorang tua penduduk kampung Bunar,  Endang Adnan (70) sebagian besar warganya merupakan keturunan langsung dari Eyang Nurhasan, yang semasa hidupnya bekerja sebagai abdi, atawa jongos dari seorang Belanda yang (Administrator) menguasai perkebunan (onderneming) kopi di kawasan Bunar dan sekitarnya.

Masih menurut Endang, berdasarkan kisah yang turun-temurun, konon sejak jaman VOC hingga tahun 1908, kawasan itu masih merupakan perkebunan kopi yang memiliki kualitas tinggi ketika itu. Di lereng puncak gunung Puteri yang jaraknya dari kampung Bunar sekitar 1 km, areal dan puing bekas pabrik  berikut gedung tempat tinggal Adm. Perkebunan itu masih tampak berupa reruntuhan tembok.

Adapun perkebunan teh yang saat ini ada di kawasan itu adalah perkebunan teh rakyat merupakan bantuan Presiden Soeharto untuk penduduk Bunar agar memanfaatkan kawasan bekas perkebunan kopi itu.

Sementara itu, di bawah bekas areal pabrik dan rumah gedung itu akan ditemukan sebuah curug yang disebut warga sekitar dengan nama Curug Gedong (Bahasa Sunda, artinya gedung). Bisa jadi karena memang berdekatan dengan bekas pabrik dan gedung tempat tinggal tuan kebun kopi itu.

Untuk mencapai ke curug dan areal bekas pabrik itu, terpaksa sepeda motor trail saya diparkir di halaman rumah Pak Endang  Adnan. Bukannya tidak sanggup saya mengendarainya , tapi karena larangan warga Bunar yang menganggap tabu membawa kendaraan ke kawasan tersebut.  Dengan berjalan kaki saya pun menapaki jalan setapak yang licin dan berbatu yang diselimuti lumut.  Sehingga langkah kaki pun mesti berhati-hati.

Sekitar lima belas menit kemudian, sampailah di lereng yang menghijau oleh hamparan tanaman teh. Napas yang semula mulai tersengal, setelah tiba di areal kebun teh terasa hilang berganti hawa segar pegunungan yang dibarengi hembusan angin sepoi-sepoi. Tetapi perjalanan harus masih terus berlanjut. Saya masih penasaran dengan Curug Gedong yang menyisakan kisah jaman penjajahan kompeni Belanda itu.

[caption caption="Di sini ada jejak puing bekas pabrik dan gedung peninggalan jaman Belanda (Dok. pribadi)"]

[/caption]

Jalan setapak di antara pohon teh yang menghampar terasa sedikit menurun. Tapi tak lama berselang, kembai menanjak lagi. Di antara kesiur hembusan angin, tiba-tiba telinga saya menangkap suara gemuruh air yang jatuh. Horeee... Rasa penat yang mulai menyergap seakan menghilang dengan tiba-tiba, berganti semangat untuk segera tiba ke Curug Gedong itu.

O my God, untuk mencapai ke arah suara gemuruh air itu saya harus kembali melangkah dengan hati-hati. Karena kalau tidak, jalan setapak yang semakin menyempit karena di tanahnya sering berjatuhan ke arah tebing curam di sebelah kanan, juga batu-batunya semakin dipenuhi lumut yang menebal. Sungguh. Memang sungguh-sungguh kawasan ini masih jarang didatangi banyak orang.

Setelah beberapa saat berjalan meniti bebatuan  yang licin, maka tak lama kemudian sampailah saya di curug Gedong itu. dari tebing yang menjulang dengan ketinggian sekitar dua ratusan meter, air terjun yang bening airnya saat tiba di bawah berubah menjadi kepulan asap putih. Sedangkan tebing yang dilalui air terjun itu seluruh permukaannya yang tampak terlihat hanyalah batu dan batu belaka.

Dan yang membuat saya merasa  takjub, bebatuan itu di antaranya terlihat seperti batu yang telah ditatah oleh tangan ahli saja layaknya.  Tipi-tipis dan berbentuk persegi.

Menurut Endang Adnan, kawasan ini sebenarnya sering juga dikunjungi. Tapi sampai sekarang pengunjung itu terbatas pada para mahasiswa yang akan melakukan latihan dasar pecinta alam saja. Sementara wisatawan umum sepertinya belum mengenalnya sama sekali.

Oleh karena itu, alangkah bagusnya jika pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Budaya  melirik ke arah Kampung Bunar ini, dan suatu ketika menjadikannya sebagai destinasi wanawisata unggulan yang bisa jadi mendatangkan pendapatan kas daerah.

Semoga. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun