Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik

Andaikan Saja Para Pejabat Memiliki Sikap Seperti Dirjen Perhubungan Darat

27 Desember 2015   22:55 Diperbarui: 27 Desember 2015   23:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Membaca berita pengunduran diri Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Djoko Sasono, dengan alasan karena merasa gagal dalam mengurai kemacetan yang terjadi pada beberapa hari terakhir, sepertinya dalam mimpi saja.

Bagaimana pun di Indonesia ini, baru kali ini ada seorang pejabat publik yang meletakkan jabatannya karena merasa tidak mampu untuk mengemban tugas dan kewajibannya. Tidak mampu memenuhi harapan rakyat yang dilayaninya.

Sikap Djoko Sasono tersebut mengingatkan pada sikap para pejabat di Jepang ketika tidak mampu mengemban amanah yang diembannya. Di Jepang sana sikap itu sudah menjadi budaya di kalangan pejabat pemerintahan. Bahkan jauh sebelumnya konon bila seorang pejabat merasa gagal mengemban tugasnya, maka yang bersangkutan sampai melakukan harakiri, alias bunuh diri dengan cara menusuk dadanya menggunakan pedang pendek.

Ditinjau dari kacamata moral, sikap Dirjen Perhubungan Darat tersebut patut diacungi jempol memang. Paling tidak yang bersangkutan masih memiliki hati nurani. Bisa jadi Djoko berpikir, untuk apa mempertahankan kedudukan, kalau tidak mampu melaksanakannya.

Sementara di Indonesia ini, sudah bukan rahasia lagi bila seorang pejabat publik meskipun sudah jelas tidak becus melaksanakan tugas dan kewajibannya (Kecuali Djoko Sasono), berusaha dengan bermacam cara untuk mempertahankan kedudukannya.

Betapa tidak. Untuk mendapatkan kedudukan sebagai seorang pejabat publik, misalnya saja untuk menjadi anggota Dewan, Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden sekalipun, sudah bukan rahasia lagi bila yang bersangkutan sudah kebelet, alias berambisi untuk mendapatkan kedudukan seperti itu harus mengeluarkan banyak uang.

Selain untuk biaya kampanye agar mendapatkan dukungan konstituen, termasuk tim sukses juga harus mendapat perhatian, dan selain itu mahar untuk partai politik pendukung konon bisa mencapai milyaran rupiah. Tergantung posisi yang diincar.

Maka sudah tak aneh lagi bila dalam pemilihan tampil sebagai peraih dukungan suara terbanyak, alias sebagai pemenang, ketika sudah resmi menduduki jabatan pun pada umumnya bukan fokus melaksanakan  tugas dan kewajiban yang diembannya, yang terjadi malah sibuk mencari celah dari anggaran untuk mengganti dana yang dikeluarkan saat pencalonan.

Lalu bila perilakunya itu terendus aparat penegak hukum, maka untuk menyelamatkan dirinya segala cara pun dilakukannya. Mulai dari mengelak – sebagaimana biasanya dilakukan maling, sampai menyuap aparat dari anggaran yang diembat. Pokoknya yang penting asal selamat dari jerat hukum di dunia, dan persetan, atawa peduli amat  dengan urusan kelak di akhirat.

Demikian juga halnya jika yang bersangkutan saat pemilihan mengalami kekalahan. Sikap sportivitas sepertinya sudah tidak ada lagi dalam kamus kehidupannya.  Kemenangan rivalnya pun diungkit-ungkit sebagai kemenangan yang melanggar aturan permainan. Bersama tim suksesnya yang bersanggutan pun melakukan gugatan, bahkan sampai menggerakan massa untuk memprotes dengan cara-cara yang juga sudah jauh dari aturan. Misalnya saja dengan membakar kantor panitia pemilihan, dan meneror personalnya segala macam.

Bahkan dalam kasus reshufle Kabinet saja, secara kasat mata, adanya pergantian para pembantu Presiden bisa jadi disebabkan para menteri yang diganti tidak memenuhi harapan, dalam kata lain tidak becus bekerja. Sementara para menteri yang akan di-reshufle itu sendiri tampaknya tidak tahu diri. Malahan justru berusaha mempertahankan kedudukannya dengan berbagai cara. Paling tidak mencoba mengalihkan perhatian publik dan Presiden pada persoalan lain, agar dirinya terlepas dari sorotan.

Andaikan saja para pejabat publik – termasuk jajaran menteri,sering introspeksi diri, dan masih memiliki hati nurani, plus moral yang kuat, sepertinya reshufle pun tidak akan ada dalam kamus Kabinet pemerintahan di Indonesia ini.  Karena bila yang bersangkutan merasa gagal melaksanakan tugasnya, maka sebelum mendapat kritikan publik dan diganti, yang bersangkutan dengan tanpa reserve lagi buru-buru menyatakan untuk mengundurkan diri - seperti Djoko Sasono baru-baru ini. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun