Mencermati gonjang-ganjing DPR yang akan mengesahkan peraturan tata-terib peliputan wartawan di gedung dewan, Â dianggap banyak orang sebagai sebuah tindakan lebay yang keblablasan. Tapi saya justru sebaliknya, sangat mendukung tindakan para wakil rakyat itu. Bahkan jangan hanya berupa tatib saja. Sebaiknya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pun dirubah saja sekalian.
Betapa tidak. Kekhawatiran anggota Dewan, adalah kekhawatiran bangsa Indonesia juga terhadap sikap wartawan. Sekarang ini, tidak hanya di gedung dewan saja banyak wartawan berkeliaran tanpa memiliki identitas yang jelas. Di pelosok pun  demikian.
Dengan gaya yang arogan,
petangtang-petengteng bak jagoan,
keluar-masuk kantor kelurahan dan kecamatan,
bicara ngalor-ngidul tidak karuan,
dan ketika ditanya medianya dia gelagapan,
tapi soal 'imbalan' yang tak jelas dinomor-satukan
Itulah fenomena yang terjadi. Dan itu akibat dari digelontorkannya kran kebebasan terhadap pers, dan segala pernak-pernik di dalamnya. Dengan begitu gampangnya, Â seorang pengangguran yang tidak jelas asal-usulnya tiba-tiba tampil dengan percaya diri setelah mengantongi kartu identitas sebuah penerbitan yang cukup mencantumkan "Berdasarkan UU No. 40 Th 1999".
Bahkan tak jarang, ada seorang yang memiliki kartu identitas sebagai wartawan, juga menjadi pengurus sebuah ormas yang sering tampil di tengah masyarakat dengan tampang seram bak jagoan, dan kerjaannya hanya menyodorkan proposal permintaan sumbangan untuk kegitan yang tak jelas juntrungan-nya.
Kalaupun seorang wartawan semacam itu menenteng media, tempatnya dia bekerja, sekilas saja banyak berita yang sifatnya provokatif, penulisannya acap menampilkan opini, sekalinya membuat berita, ya minta imbalan terhadap nara sumbernya, dan sedikit saja dicermati, tulisannya pun acak-kadut, jauh dari penulisan yang memiliki kaidah bahasa jurnalistik yang baik.