Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bahkan UU No 40 Tahun 1999 Diubah Saja Sekalian

17 Februari 2012   14:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:31 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Mencermati gonjang-ganjing DPR yang akan mengesahkan peraturan tata-terib peliputan wartawan di gedung dewan,  dianggap banyak orang sebagai sebuah tindakan lebay yang keblablasan. Tapi saya justru sebaliknya, sangat mendukung tindakan para wakil rakyat itu. Bahkan jangan hanya berupa tatib saja. Sebaiknya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pun dirubah saja sekalian.

Betapa tidak. Kekhawatiran anggota Dewan, adalah kekhawatiran bangsa Indonesia juga terhadap sikap wartawan. Sekarang ini, tidak hanya di gedung dewan saja banyak wartawan berkeliaran tanpa memiliki identitas yang jelas. Di pelosok pun  demikian.

Dengan gaya yang arogan,

petangtang-petengteng bak jagoan,

keluar-masuk kantor kelurahan dan kecamatan,

bicara ngalor-ngidul tidak karuan,

dan ketika ditanya medianya dia gelagapan,

tapi soal 'imbalan' yang tak jelas dinomor-satukan

Itulah fenomena yang terjadi. Dan itu akibat dari digelontorkannya kran kebebasan terhadap pers, dan segala pernak-pernik di dalamnya. Dengan begitu gampangnya,  seorang pengangguran yang tidak jelas asal-usulnya tiba-tiba tampil dengan percaya diri setelah mengantongi kartu identitas sebuah penerbitan yang cukup mencantumkan "Berdasarkan UU No. 40 Th 1999".

Bahkan tak jarang, ada seorang yang memiliki kartu identitas sebagai wartawan, juga menjadi pengurus sebuah ormas yang sering tampil di tengah masyarakat dengan tampang seram bak jagoan, dan kerjaannya hanya menyodorkan proposal permintaan sumbangan untuk kegitan yang tak jelas juntrungan-nya.

Kalaupun seorang wartawan semacam itu menenteng media, tempatnya dia bekerja, sekilas saja banyak berita yang sifatnya provokatif, penulisannya acap menampilkan opini, sekalinya membuat berita, ya minta imbalan terhadap nara sumbernya, dan sedikit saja dicermati, tulisannya pun acak-kadut, jauh dari penulisan yang memiliki kaidah bahasa jurnalistik yang baik.

Itulah masalahnya.

Masalah ini walaupun pernah dikatakan wartawan senior Alm. Rosihan Anwar akan hilang secara alami, atau dengan sendirinya, namun kehadiran wartawan 'bodrex', CNN (Cuma Nanya-Nanya), CFF (Cuma Foto-Foto), Uka-uka, dan se-abreg sebutan lainnya, ternyata sekarang malah bak wabah yang sangat mengerikan bagi kelangsungan dunia wartawan yang sesungguhnya.

Betul memang, saat ini Dewan Pers telah membuat aturan yang maksudnya untuk membedakan mana wartawan abal-abal, dan mana wartawan sungguhan. Melalui uji kompetensi, jelas akan ada garis pemisah. Tapi dalam pelaksanaannya hanya baru di beberapa kota besar saja. Tidak serempak dan menyeluruh. Bahkan semakin nyaring disuarakan masalah uji kompetensi itu, kenyataannya wartawan semacam itu semakin hari tambah banyak saja bermunculan. Dan ini sangat meresahkan. Bagi masyarakat, tentu saja.

Coba saja bayangkan, ketika ada seorang kepala desa yang tertangkap basah melakukan perzinaan, wartawan seperti itu, bersama beberapa orang 'kantor'-nya mendatangi ketua APDESI (Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia). Mereka menyerahkan rilisan berita tentang rekan kepala desa yang berbuat mesum itu. "Berita ini 'kan bisa membuat citra kepala desa rusak dimata masyarakat kalau diangkat. Bagaimana kalau berita ini saya pending, di buang ke keranjang sampah, tapi harus ada imbalannya pengganti biaya cetak, bagaimana, Pak?"

Memalukan bukan, mosok masih ada cara wartawan seperti itu di Indonesia ini. Sungguh keterlaluan.

Akan lebih memalukan lagi jiga sebuah penerbitan pers tidak mampu menggaji wartawannya dengan layak sebagaimana ketentuan UMR/UMK. Sebaiknya perlu diperjelas lagi dalam perubahan UU-nya nanti. Penerbitan media yang tidak mampu memberi gaji, sebaiknya ditutup saja. Habis perkara. Daripada wartawan orang itu ber-dwi fungsi, selain dituntut mencari berita, harus dibebani menjadi loper koran juga, dan memeras sana-sini lagi agar target setoran terpenuhi.

Yang patut diperhatikan di dalam membuat perubahan Undang-undang ini nanti, patut kiranya melibatkan para pakar, dan orang-orang yang tahu seluk-beluk masalah jurnalistik. Jangan sampai keblablasan seperti rancangan tatib yang sekarang ini. Kesan yang ditangkap, bukannya hendak melindungi warganya, melainkan membentengi diri sendiri yang memang lebay dan bak wartawan abal-abal itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun