Zakaria bin Muhammad Amin adalah seorang ulama, politikus, dan penulis berkebangsaan Indonesia. Ia dikenal sebagai figur ulama yang sederhana, bersahaja, dan konsisten dalam sikap serta perbuatan yang dilakukannya.Â
Zakaria dilahirkan pada 7 Maret 1913 di Bangkinang, Kabupaten Kampar, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara pasangan Muhammad Amin, seorang pedagang asal Desa Kuok, dan Taraima yang berasal dari desa yang sama. Ia memiliki dua orang adik laki-laki bernama Haji Hasyim dan Ahmad. Zakaria juga memiliki tiga orang saudara seayah dari pernikahan kedua ayahnya, yaitu seorang adik laki-laki bernama Haji Ahmad Sanusi, dan dua orang adik perempuan bernama Siti Maryam dan Hajjah Syarafiah. Semua saudara kandungnya menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) dan kemudian pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk bekerja sebagai petani dan pedagang barang pecah belah hingga mendapatkan kewarganegaraan Malaysia pada tahun 1960-an. Kedua orang tua Zakaria bekerja sebagai pedagang pakaian jadi di pasar yang berpindah tempat dari suatu desa ke desa yang lain di sepanjang jalan Riau-Sumatra Barat. Mereka memiliki usaha peternakan dan sering menggembalakan sekandang kerbau pada pematang sawah milik mereka. Zakaria kecil juga turut membantu kedua orang tuanya dalam menggembalakan ternak serta menghabiskan waktunya dengan mandi di Sungai Batang Kampar bersama dengan teman-temannya. Setiap harinya, ia dibangunkan pada pukul 04:00 pagi oleh kedua orang tuanya untuk membantu mereka menyiapkan barang dagangan sekaligus memimpin salat Subuh berjamaah. Dalam bidang pendidikan, kedua orang tua Zakaria memiliki pengamalan agama dan disiplin yang cukup kuat, serta mengedepankan anak-anaknya untuk memiliki sifat yang jujur, tidak mengusik kehidupan orang lain, mengalah jika diganggu, tidak menyakiti orang lain, dan selalu membantu orang yang lemah. Zakaria kemudian mengatakan bahwa sifat kerja keras yang dimiliki oleh kedua orang tuanya menimbulkan kesan tersendiri bagi dirinya karena mereka tidak pernah lupa untuk beribadah.Â
Zakaria memulai pendidikannya dengan menempuh Volks School yang berada di Bangkinang, pada tahun 1920 di dalam usia 7 tahun. Ia kemudian berhenti bersekolah pada saat menduduki bangku kelas tiga karena memiliki minat yang tinggi pada ilmu keagamaan dan merasa tidak cocok untuk belajar sains. Melihat minatnya yang besar pada bidang ilmu keagamaan, pada tahun 1923, Zakaria dibawa oleh pamannya, Haji Abdullah, beserta istrinya, Fatimah, yang merupakan adik dari ibunya untuk melaksanakan ibadah haji di Mekah atas saran dari kedua orang tua Zakaria. Mereka menempuh perjalanan menggunakan kapal dari Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, dan menghabiskan waktu sekitar tiga hingga empat bulan untuk menuju Mekah karena kapal KLM milik pemerintah Hindia Belanda tersebut sering singgah di sejumlah pelabuhan, termasuk di daerah koloninya. Sesampainya di Mekah, Zakaria beserta dengan pamannya berkenalan dengan para jamaah haji yang berasal dari Malaysia. Mereka kemudian menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu keagamaan dengan beberapa syekh yang terkenal di sana, di antaranya Ali Al-Maliki, Syekh Umar Al-Turki, Umar Hamdan, Ahmad Fathoni, dan Syekh Muhammad Amin Quthbi. Bersama dengan para jamaah dari berbagai negara, Zakaria melakukan metode pembelajaran secara halaqoh dengan membentuk lingkaran dan belajar ilmu keagamaan serta mengaji setiap selesai salat. Ia kemudian mempelajari beberapa ilmu keagamaan, di antaranya ilmu Al-Quran, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu mustolah hadis, ilmu tauhid, ilmu balagah, dan ilmu qonafi yang merupakan keilmuan tentang sastra Arab. Sanad keilmuan Zakaria menyambung ke Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama penganut mazhab Imam Syafi'i yang pernah menjabat sebagai imam di Masjidil Haram. Beliau merupakan guru dari Syekh Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hayim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Setelah melaksanakan ibadah haji, Zakaria kemudian pindah ke Malaysia bersama dengan paman dan bibinya untuk melanjutkan pendidikan ilmu keagamaannya karena daerah tersebut yang terkenal sebagai daerah dengan keilmuan Islam yang taat lalu menetap di sana.
Di Malaysia, Zakaria menetap di daerah Temerloh, sebuah distrik yang berada di Pahang. Ia belajar ilmu keagamaan Islam kepada Haji Muhammad Saleh, seorang ulama keturunan Arab dan Pahang, hingga Saleh meninggal dunia. Selama berguru kepada Saleh, Zakaria mempelajari dan berhasil menguasai Matan Jurumiyah secara lengkap. Ia kemudian pindah ke daerah Pasir Mas, Kuala Lipis dan menetap di sana selama 9 bulan hingga daerah tersebut mengalami banjir pada akhir tahun 1929. Karena keadaan tersebut, Zakaria bersama dengan beberapa orang temannya pindah ke Bengkalis, Riau.Â
Sesampainya di Bengkalis, Zakaria menetap di Masjid Raya Parit Bangkong yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Ahmad sekaligus melanjutkan pendidikan ilmu keagamaannya. Ia kemudian menjadi pengajar pada usia 16 tahun di sekolah yang dikelola oleh Ahmad bersama dengan beberapa orang temannya, yaitu Haji Muhammad Toha, Haji Muhammad Sidik, dan Haji Muhammad Ismail, yang sekaligus melanjutkan pendidikan keagamaan Islam dengan berguru kepada Ahmad.Â
Pada tahun 1930, setahun setelah kembali dari Malaysia, Zakaria mulai menulis beberapa buku untuk membahas isu yang menjadi diskusi di masyarakat pada saat itu. Bukunya yang pertama berjudul Balqurramhi fi Sunniyyati Qunut Subhi, sebuah buku yang membahas tentang penggunaan doa qunut pada waktu salat Subuh, dan diterbitkan pada majalah At-Tabib di Cikampek, Jawa Barat. Ia kemudian merilis buku berjudul Masalah Usholli Dalam Salat, sebuah buku yang membahas tentang penggunaan usholli dalam niat salat, dan diterbitkan oleh majalah yang sama pada tahun 1932.Â
Pada tahun 1933, Zakaria menikah dengan Mariah, putri dari Tuan Guru Haji Ahmad, di Bengkalis, Riau. Mereka dikaruniai tujuh orang anak, diantaranya tiga orang anak laki-laki bernama Nashruddin, seorang pegawai negeri sipil di Kantor Departemen Agama Kabupaten Bengkalis, Azrai'e, seorang dosen di Universitas Asysyafi'iyah Jakarta, dan Syakrani Zakaria, seorang pegawai syahbandar di Bengkalis, serta empat orang putri bernama Aminah, seorang guru yang pernah menjabat sebagai kepala sekolah di SMP Negeri 2 Bengkalis, Zaharah, seorang politikus yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Bengkalis dari Fraksi Karya Pembangunan, dan Ulfah Zakaria, seorang bidan di Rumah Sakit Umum Manado. Pernikahan mereka berakhir dengan kematian Mariah pada 2 Februari 1955 akibat sakit. Setelah menikah, Zakaria pindah ke daerah Bagan Datuk, sebuah kota yang berada di Perak, Malaysia, bersama dengan keluarganya untuk melanjutkan pendidikan keagamaan Islamnya.
Pada tahun 1937, bersama dengan Tuan Guru Haji Ahmad, Zakaria mendirikan Pondok Pesantren Al-Khairiyah dan memimpin sekolah tersebut dengan sistem klasikal hingga penjajahan Jepang masuk ke Bengkalis pada tahun 1943.
Pada tahun 1945, selama masa pendudukan Jepang, Zakaria bersama dengan Abdullah Nur memimpin gerakan untuk membangkitkan nasionalisme rakyat dengan mengusung tema bubbul watan minal iman (mencintai tanah air itu sebagian dari iman) dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia juga mengumpulkan para tokoh masyarakat dari berbagai agama, di antaranya Kadhi Haji Ahmad Khatib sebagai perwakilan dari pihak Islam dan Joseph Hutabarat yang merupakan mantan Kepala Bengkel dan Perkapalan pada zaman penjajahan Belanda sebagai perwakilan dari pihak Kristen, dan kemudian menyampaikan "Sumpah Setia Perjuangan".
Pada Agresi Militer Belanda II, Zakaria memimpin pergerakan dengan pangkat Mayor Tituler dan ikut bertempur menentang pasukan Belanda di Dumai bersama dengan pasukan TNI. Ia kemudian dilantik oleh Bupati Bengkalis Haji Muhammad sebagai kepala pemerintahan di bidang agama Islam pada bulan Desember 1949.Â