Mohon tunggu...
Arsip Zakaria
Arsip Zakaria Mohon Tunggu... Dosen - Pengurus dari koleksi Zakaria bin Muhammad Amin

Arsip tentang ulama Indonesia, Zakaria bin Muhammad Amin (1913-2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Zakaria bin Muhammad Amin: Ulama Karismatik asal Daerah Biasa dengan Kontribusi Luar Biasa

30 Maret 2024   14:35 Diperbarui: 19 September 2024   12:30 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zakaria di kediamannya yang berada di Kelapapati, Bengkalis, pada tahun 1990. Sumber: koleksi pribadi

Zakaria bin Muhammad Amin adalah seorang ulama, politikus, dan penulis berkebangsaan Indonesia. Ia dikenal sebagai figur ulama yang sederhana, bersahaja, dan konsisten dalam sikap serta perbuatan yang dilakukannya. 

Zakaria dilahirkan pada 7 Maret 1913 di Bangkinang, Kabupaten Kampar, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara pasangan Muhammad Amin, seorang pedagang asal Desa Kuok, dan Taraima yang berasal dari desa yang sama. Ia memiliki dua orang adik laki-laki bernama Haji Hasyim dan Ahmad. Zakaria juga memiliki tiga orang saudara seayah dari pernikahan kedua ayahnya, yaitu seorang adik laki-laki bernama Haji Ahmad Sanusi, dan dua orang adik perempuan bernama Siti Maryam dan Hajjah Syarafiah. Semua saudara kandungnya menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) dan kemudian pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk bekerja sebagai petani dan pedagang barang pecah belah hingga mendapatkan kewarganegaraan Malaysia pada tahun 1960-an. Kedua orang tua Zakaria bekerja sebagai pedagang pakaian jadi di pasar yang berpindah tempat dari suatu desa ke desa yang lain di sepanjang jalan Riau-Sumatra Barat. Mereka memiliki usaha peternakan dan sering menggembalakan sekandang kerbau pada pematang sawah milik mereka. Zakaria kecil juga turut membantu kedua orang tuanya dalam menggembalakan ternak serta menghabiskan waktunya dengan mandi di Sungai Batang Kampar bersama dengan teman-temannya. Setiap harinya, ia dibangunkan pada pukul 04:00 pagi oleh kedua orang tuanya untuk membantu mereka menyiapkan barang dagangan sekaligus memimpin salat Subuh berjamaah. Dalam bidang pendidikan, kedua orang tua Zakaria memiliki pengamalan agama dan disiplin yang cukup kuat, serta mengedepankan anak-anaknya untuk memiliki sifat yang jujur, tidak mengusik kehidupan orang lain, mengalah jika diganggu, tidak menyakiti orang lain, dan selalu membantu orang yang lemah. Zakaria kemudian mengatakan bahwa sifat kerja keras yang dimiliki oleh kedua orang tuanya menimbulkan kesan tersendiri bagi dirinya karena mereka tidak pernah lupa untuk beribadah. 

Zakaria memulai pendidikannya dengan menempuh Volks School yang berada di Bangkinang, pada tahun 1920 di dalam usia 7 tahun. Ia kemudian berhenti bersekolah pada saat menduduki bangku kelas tiga karena memiliki minat yang tinggi pada ilmu keagamaan dan merasa tidak cocok untuk belajar sains. Melihat minatnya yang besar pada bidang ilmu keagamaan, pada tahun 1923, Zakaria dibawa oleh pamannya, Haji Abdullah, beserta istrinya, Fatimah, yang merupakan adik dari ibunya untuk melaksanakan ibadah haji di Mekah atas saran dari kedua orang tua Zakaria. Mereka menempuh perjalanan menggunakan kapal dari Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, dan menghabiskan waktu sekitar tiga hingga empat bulan untuk menuju Mekah karena kapal KLM milik pemerintah Hindia Belanda tersebut sering singgah di sejumlah pelabuhan, termasuk di daerah koloninya. Sesampainya di Mekah, Zakaria beserta dengan pamannya berkenalan dengan para jamaah haji yang berasal dari Malaysia. Mereka kemudian menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu keagamaan dengan beberapa syekh yang terkenal di sana, di antaranya Ali Al-Maliki, Syekh Umar Al-Turki, Umar Hamdan, Ahmad Fathoni, dan Syekh Muhammad Amin Quthbi. Bersama dengan para jamaah dari berbagai negara, Zakaria melakukan metode pembelajaran secara halaqoh dengan membentuk lingkaran dan belajar ilmu keagamaan serta mengaji setiap selesai salat. Ia kemudian mempelajari beberapa ilmu keagamaan, di antaranya ilmu Al-Quran, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu mustolah hadis, ilmu tauhid, ilmu balagah, dan ilmu qonafi yang merupakan keilmuan tentang sastra Arab. Sanad keilmuan Zakaria menyambung ke Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama penganut mazhab Imam Syafi'i yang pernah menjabat sebagai imam di Masjidil Haram. Beliau merupakan guru dari Syekh Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hayim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Setelah melaksanakan ibadah haji, Zakaria kemudian pindah ke Malaysia bersama dengan paman dan bibinya untuk melanjutkan pendidikan ilmu keagamaannya karena daerah tersebut yang terkenal sebagai daerah dengan keilmuan Islam yang taat lalu menetap di sana.

Di Malaysia, Zakaria menetap di daerah Temerloh, sebuah distrik yang berada di Pahang. Ia belajar ilmu keagamaan Islam kepada Haji Muhammad Saleh, seorang ulama keturunan Arab dan Pahang, hingga Saleh meninggal dunia. Selama berguru kepada Saleh, Zakaria mempelajari dan berhasil menguasai Matan Jurumiyah secara lengkap. Ia kemudian pindah ke daerah Pasir Mas, Kuala Lipis dan menetap di sana selama 9 bulan hingga daerah tersebut mengalami banjir pada akhir tahun 1929. Karena keadaan tersebut, Zakaria bersama dengan beberapa orang temannya pindah ke Bengkalis, Riau. 

Sesampainya di Bengkalis, Zakaria menetap di Masjid Raya Parit Bangkong yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Ahmad sekaligus melanjutkan pendidikan ilmu keagamaannya. Ia kemudian menjadi pengajar pada usia 16 tahun di sekolah yang dikelola oleh Ahmad bersama dengan beberapa orang temannya, yaitu Haji Muhammad Toha, Haji Muhammad Sidik, dan Haji Muhammad Ismail, yang sekaligus melanjutkan pendidikan keagamaan Islam dengan berguru kepada Ahmad. 

Pada tahun 1930, setahun setelah kembali dari Malaysia, Zakaria mulai menulis beberapa buku untuk membahas isu yang menjadi diskusi di masyarakat pada saat itu. Bukunya yang pertama berjudul Balqurramhi fi Sunniyyati Qunut Subhi, sebuah buku yang membahas tentang penggunaan doa qunut pada waktu salat Subuh, dan diterbitkan pada majalah At-Tabib di Cikampek, Jawa Barat. Ia kemudian merilis buku berjudul Masalah Usholli Dalam Salat, sebuah buku yang membahas tentang penggunaan usholli dalam niat salat, dan diterbitkan oleh majalah yang sama pada tahun 1932. 

Pada tahun 1933, Zakaria menikah dengan Mariah, putri dari Tuan Guru Haji Ahmad, di Bengkalis, Riau. Mereka dikaruniai tujuh orang anak, diantaranya tiga orang anak laki-laki bernama Nashruddin, seorang pegawai negeri sipil di Kantor Departemen Agama Kabupaten Bengkalis, Azrai'e, seorang dosen di Universitas Asysyafi'iyah Jakarta, dan Syakrani Zakaria, seorang pegawai syahbandar di Bengkalis, serta empat orang putri bernama Aminah, seorang guru yang pernah menjabat sebagai kepala sekolah di SMP Negeri 2 Bengkalis, Zaharah, seorang politikus yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Bengkalis dari Fraksi Karya Pembangunan, dan Ulfah Zakaria, seorang bidan di Rumah Sakit Umum Manado. Pernikahan mereka berakhir dengan kematian Mariah pada 2 Februari 1955 akibat sakit. Setelah menikah, Zakaria pindah ke daerah Bagan Datuk, sebuah kota yang berada di Perak, Malaysia, bersama dengan keluarganya untuk melanjutkan pendidikan keagamaan Islamnya.

Pada tahun 1937, bersama dengan Tuan Guru Haji Ahmad, Zakaria mendirikan Pondok Pesantren Al-Khairiyah dan memimpin sekolah tersebut dengan sistem klasikal hingga penjajahan Jepang masuk ke Bengkalis pada tahun 1943.

Pada tahun 1945, selama masa pendudukan Jepang, Zakaria bersama dengan Abdullah Nur memimpin gerakan untuk membangkitkan nasionalisme rakyat dengan mengusung tema bubbul watan minal iman (mencintai tanah air itu sebagian dari iman) dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia juga mengumpulkan para tokoh masyarakat dari berbagai agama, di antaranya Kadhi Haji Ahmad Khatib sebagai perwakilan dari pihak Islam dan Joseph Hutabarat yang merupakan mantan Kepala Bengkel dan Perkapalan pada zaman penjajahan Belanda sebagai perwakilan dari pihak Kristen, dan kemudian menyampaikan "Sumpah Setia Perjuangan".

Pada Agresi Militer Belanda II, Zakaria memimpin pergerakan dengan pangkat Mayor Tituler dan ikut bertempur menentang pasukan Belanda di Dumai bersama dengan pasukan TNI. Ia kemudian dilantik oleh Bupati Bengkalis Haji Muhammad sebagai kepala pemerintahan di bidang agama Islam pada bulan Desember 1949. 

Pada tahun 1950, Zakaria dilantik sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Bengkalis dan menjadikannya orang pertama yang menjabat posisi tersebut hingga tahun 1972. Ia kemudian bergabung dengan Partai Masyumi dan menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Bengkalis.

Untuk mempersiapkan bahan-bahan guna dibawa ke Konferensi Desentralisasi/Konferensi DPRDS/DPDS se-Indonesia yang dilaksanakan di Bandung pada 10 hingga 14 Maret 1955, Zakaria mengadakan sidang pleno VIII DPRDS Kabupaten Bengkalis pada 25 Februari 1955 yang memutuskan untuk menyampaikan tuntutan bahwa daerah Riau mutlak untuk dijadikan satu provinsi. Tuntutan tersebut disampaikan dalam sidang konferensi di Bandung dan didukung oleh DPRDS se-Riau. 

Pada saat persiapan pemilu, empat DPRDS yang terdiri dari Kampar, Bengkalis, Kepulauan Riau, dan Indragiri, se-Riau mengadakan konferensi di Bengkalis pada 7 Agustus 1955. Konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan untu menuntut diberikannya status otonom kepada Riau. Zakaria kemudian menjadi delegasi untuk menemui pemerintah pusat dan menyampaikan resolusi. Setelah melakukan diplomasi selama dua tahun, pada 9 Agustus 1957, Provinsi Riau resmi dibentuk dengan disahkannya Undang-Undang Darurat Republik Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau, yang ditetapkan serta ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Denpasar, Bali, yang kemudian diundangkan pada 10 Agustus 1957. Undang-undang darurat ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang pada 25 Juli 1958 dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 75) sebagai undang-undang.

Pada tahun 1956, Zakaria menikah dengan Siti Zainab binti Kimpal, seorang aktris, di Bengkalis, Riau. Mereka dikaruniai tujuh orang anak, diantaranya tiga orang anak laki-laki bernama Zulkarnain, seorang pegawai negeri sipil di Dinas Pertanian Pemerintahan Provinsi Riau, Nukman, seorang pegawai negeri sipil di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tingkat II di Bengkalis, dan Gamal Abdul Nasir Zakaria, seorang dosen pendidikan Islam dan bahasa Arab di Institut Pendidikan Sultan Haji Hassanal Bolkiah Universiti Brunei Darussalam, serta empat orang putri bernama Rinie Yuslina Fairuz, seorang pegawai negeri sipil di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Rita Puspa, seorang wakil direktur bagian pelayanan di RSUD Bengkalis, Nida Suryani, seorang guru sains di SMP Al-Amin, dan Sri Purnama Zakaria, seorang guru bahasa Inggris di SMA Negeri 2 Bengkalis.

Pada 15 Agustus 1960, Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintah Orde Lama. Zakaria kemudian aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama karena beranggapan bahwa organisasi masyarakat yang memperjuangkan agama Islam relevan dengan pandangannya. 

Pada 17 Juli 1963, Zakaria mendirikan MDTA Mahbatul Ulum, sebuah perguruan yang menyediakan jenjang pendidikan tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Ia kemudian menjadi juri Musabaqah Tilawatil Quran pada tahun 1964 dan menjadi pengajar pada Pendidikan Guru Agama (PGA) YPPI Bengkalis selama enam tahun hingga sekolah tersebut ditutup pada tahun 1970.

Pada tahun 1974, Zakaria dilantik sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan di Kabupaten Bengkalis dari unsur Nahdlatul Ulama hingga tahun 1986. Ia kemudian menjadi pengurus cabang Nahdlatul Ulama di Kabupaten Bengkalis.

Zakaria meninggal dunia pada 1 Januari 2006 akibat penyakit diabetes yang dideritanya dalam usia 92 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Islam Harapan.

Pada 9 Agustus 2023,  Zakaria menerima anugerah penghargaan dari Provinsi Riau atas kontribusinya dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun