Mohon tunggu...
arsi juwandy
arsi juwandy Mohon Tunggu... Guru - Lahir dan besar di Ruteng

Penggemar berat Sheila On 7

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tamu Baru Bernama Corona

25 Maret 2020   08:15 Diperbarui: 25 Maret 2020   09:06 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Ruteng, Foto:Selo Jome

Rasanya baru kemarin kita berbela sungkawa dengan Negara Cina. Negara pertama yang diserang Virus Corona. Hari ini hal yang sama terjadi di pulau kecil tempat saya tinggal bernama Flores. 

Sebelum virus ini menyerang negara kita Indonesia, sebagaian besar warga +62 menjadikannya sebagai lelucon. Di baranda Facebook saya misalnya, ada beberapa teman menulis status seperti ini, “Di China Virus Corona, di Manggarai Virus do rona dan do wina”. 

Kata Do rona secara harafiah diartikan sebagai banyak suami, sedangkan do wina berarti banyak istri. 

Saat itu Wuhan dan Flores masih jauh, bermil-mil jauhnya. Jadi status semacam menjadi hiburan tersendiri bagi saya.

Tetapi satu minggu terakhir rasanya Wuhan dan Flores begitu dekat. Kini Virus yang dijadikan bahan lelucon oleh teman-teman sedang menghantui masyarakat Indonesia. 

Teman saya misalnya, setelah membaca berita tentang Virus Corona yang sudah sampai di Indonesia, dia lansung menelpon adiknya yang saat ini kuliah di Jakarta. 

Menasihatinya dengan baik, di sana saya melihat kedudukan seorang kakak yang sesungguhnya. Dan hal yang sama terjadi dengan orang-orang yang saya temui, satu persatu menanyakan keadaan anak, adik, kakak, atau suaminya yang berada di luar Flores, memastikan apakah orang-orang yang mereka cintai baik-baik saja.

Tiga hari sebelumnya saya membaca berita tentang jumlah orang yang terkena Virus Corona, jumlah yang meninggal, dan yang sembuh akibat virus ini. Sebuah perbandingan angka yang cukup jauh antara yang sembuh dan meninggal. 

Belum selesai kecemasan kami, media daring dan cetak lokal kembali memberitakan jumlah pasien yang terinfeksi virus ini, tetapi bukan di Jakarta melainkan di Flores. Di pulau kami. Pulau kecil yang dijuluki pulau bunga.

Dulu, sebelum virus ini ada, setiap hari pasti ada orang asing yang melintasi jalan Trans Flores. Menggunakan mobil atau motor. Pulau kami memang terkenal dengan tempat pariwisatanya. 

Komodo, Kelimutu dan Wae Rebo menjadi sebagian contoh dari tempat wisata di Flores yang menjadi magnet bagi turis asing. 

Tak jarang kami bertegur sapa dengan mereka, misalnya ketika mereka lewat menggunakan motor atau mobil,sekelompok anak akan berteriak Good Morning Mister sambil berlari. 

Sebuah kebiasaan yang turun temurun. Tamu asing itu akan melempar senyum sambil melambaikan tangan atau membunyikan klakson mobil. 

Begitulah kami ketika melihat tamu baru, menyapanya sambil berlari, membiarkannya menikmati alam kami selama dia tidak merusak.

Namun, kebiasaan itu tiba-tiba saja hilang. Tidak ada lagi orang barat yang kami lihat. Jalanan sepi bahkan yang melintas bisa dihitung dengan jari. 

Tamu baru telah datang dan merusak segalanya. Membuat orang barat yang sering kami tegur tiba-tiba hilang dan menjauhkan kami dari orang-orang yang kami cintai.

Ketika pemerintah mengeluarkan perintah agar semua masyarakat dirumahkan, saya pn pulang ke rumah. Jarak dari rumah ke tempat kerja saya kurang lebih 60 KM. 

Tetapi rasanya begitu jauh setelah setelah Corona datang di pulau kami. Ibu tak lagi seperti biasa, menerimaku hanya dengan tatapan. Saya tidak tau apakah dia tersenyum atau merengut melihat saya datang sebab mulutnya telah ditutupi masker.

Hari-hari setelahnya begitu sulit di rumah kami, beberapa hari sebelumnya mama pernah bercerita. Bagaimana uang kuliah adikmu, saya juga memikirkan hal itu. Sebab saya juga bertanggung jawab untuk pendidikan adik saya. 

Saya mengatakan bahwa kami dirumahkan dan semua kantor atau instansi di tutup. Uang gaji kemungkinan terimanya lambat karena bank tidak beroperasi sampai situasi negara ini benar-benar aman.

Sekarang, yang tersisa adalah adalah harapan. Saya tidak tahu haru berdoa seperti apa. Perayaan ekaristi ditiadakan. Untunglah saya pernah mengikuti sebuah rekoleksi di tempat kerja saya, salah seorang pastor mengatakan bahwa berdoalah dengan hati jangan berdoa dengan otak. 

Hari-hari setelahnya saya berdoa, bukan meminta dijauhkan tetapi meminta kekuatan agar tenang menghadapi kekacauan ini. Kekacuan yang datang dari tamu baru bernama Corona

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun