Tak jarang kami bertegur sapa dengan mereka, misalnya ketika mereka lewat menggunakan motor atau mobil,sekelompok anak akan berteriak Good Morning Mister sambil berlari.Â
Sebuah kebiasaan yang turun temurun. Tamu asing itu akan melempar senyum sambil melambaikan tangan atau membunyikan klakson mobil.Â
Begitulah kami ketika melihat tamu baru, menyapanya sambil berlari, membiarkannya menikmati alam kami selama dia tidak merusak.
Namun, kebiasaan itu tiba-tiba saja hilang. Tidak ada lagi orang barat yang kami lihat. Jalanan sepi bahkan yang melintas bisa dihitung dengan jari.Â
Tamu baru telah datang dan merusak segalanya. Membuat orang barat yang sering kami tegur tiba-tiba hilang dan menjauhkan kami dari orang-orang yang kami cintai.
Ketika pemerintah mengeluarkan perintah agar semua masyarakat dirumahkan, saya pn pulang ke rumah. Jarak dari rumah ke tempat kerja saya kurang lebih 60 KM.Â
Tetapi rasanya begitu jauh setelah setelah Corona datang di pulau kami. Ibu tak lagi seperti biasa, menerimaku hanya dengan tatapan. Saya tidak tau apakah dia tersenyum atau merengut melihat saya datang sebab mulutnya telah ditutupi masker.
Hari-hari setelahnya begitu sulit di rumah kami, beberapa hari sebelumnya mama pernah bercerita. Bagaimana uang kuliah adikmu, saya juga memikirkan hal itu. Sebab saya juga bertanggung jawab untuk pendidikan adik saya.Â
Saya mengatakan bahwa kami dirumahkan dan semua kantor atau instansi di tutup. Uang gaji kemungkinan terimanya lambat karena bank tidak beroperasi sampai situasi negara ini benar-benar aman.
Sekarang, yang tersisa adalah adalah harapan. Saya tidak tahu haru berdoa seperti apa. Perayaan ekaristi ditiadakan. Untunglah saya pernah mengikuti sebuah rekoleksi di tempat kerja saya, salah seorang pastor mengatakan bahwa berdoalah dengan hati jangan berdoa dengan otak.Â
Hari-hari setelahnya saya berdoa, bukan meminta dijauhkan tetapi meminta kekuatan agar tenang menghadapi kekacauan ini. Kekacuan yang datang dari tamu baru bernama Corona