Meski demikian, Nina pun masih tetap menjalankan usahanya hingga saat ini. Kenyataan bahwa selama ini tidak ada aparat hukum yang melakukan sidak di kios tempatnya berdagang, membuat ia merasa aman untuk terus menjual buku-buku bajakan ini. Nina berasumsi, bahwa selama buku yang ia jual bukanlah buku beraliran radikal, maka aparat tidak akan memperkarakan tindakannya. Ia juga mengaku bahwa sampai saat ini ia tidak pernah berurusan hukum dengan penerbit ataupun penulis. Nina beranggapan bahwa penerbit dan penulis sebenarnya tahu jika karyanya telah dibajak secara massal. Nina juga berkata. bahwa penerbit tidak mungkin secara langsung menuntut para penjual buku bajakan, karena artinya penerbit tersebut tak hanya berurusan dengan satu penjual saja, melainkan banyak lainnya.
Namun Nina tetap berhati-hati dalam menjual buku-buku yang dijajakannya. Sadar bahwa apa yang dilakukannya beresiko, Nina pun tidak melakukan pembajakan pada buku-buku yang diproduksi oleh salah satu penerbit ternama di Indonesia. Ia mengaku bahwa penerbit tersebut memiliki power dalam bidang hukum, sehingga ia tak berani melakukan pembajakan.
Menanggapi masalah pembajakan buku ini, Nina menganggap bahwa pembajakan buku ini merupakan hal yang biasa. Sebagai pedagang sudah sewajarnya untuk memenuhi permintaan para konsumen. Hal itulah yang mendasarinya tetap berjualan buku bajakan hingga kini.
"Sebenarnya kita hanya saling melengkapi saja. Prinsip orang berdagang kan tergantung permintaan pembeli. Kalau misalnya bisa kita penuhi, kenapa engga, iya kan," tutup Nina.
Salah satu konsumen atau pembeli dari buku bajakan adalah Ardhi Ridwansyah. Mahasiswa semester 6 jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangungan Nasional 'Veteran' Jakarta ini juga mengaku pernah membeli beberapa buku bajakan. Meski telah dinobatkan sebagai Duta Gemari Baca angkatan 5 oleh Dompet Dhuafa Pendidikan pada April 2019, ia tak mengelak bahwa murahnya harga buku-buku bajakan memang menguntungkannya.
"Ketika budget kurang tapi ingin beli buku yang bagus dan buku asli harganya mahal, akhirnya beli buku bajakan. Ya soalnya karena mencari buku murah, yang sesuai kantong. Pokoknya yang penting murah,walaupun kualitas buku gak bagus. Misalnya dari segi sampul buku, kualitas kertas, bahkan tulisan kadang gak jelas, gambar buram dan berbeda dengan yang asli," ujarnya.
Mahasiswa yang gemar membaca buku bergenre sosial, politik dan sejarah ini, mengaku bahwa ia tak melulu membeli buku bajakan. Ia kerap kali membeli buku-buku asli diberbagai aplikasi online. Ia pun mengaku sering membaca buku-buku di perpustakaan kampus yang notabenenya merupakan buku-buku orisinal yang dipinjamkan.
Menanggapi permasalahan pembajakan buku ini, Ardhi prihatin kepada para penulis yang karyanya dicurangi. Ia mengatakan bahwa penulis-penulis yang sudah melakukan research dan berjuang untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tak sepatutnya dirugikan dengan tindakan pembajakan buku ini. Namun ia juga mengaku, bahwa pembajakan buku ini merupakan suatu permasalahan yang dilematis.
"Tapi memang dilematis, ketika harga buku asli mahal sedangkan kondisi semua orang belum tentu bisa membeli buku semahal itu. Orang yang berkantong tipis kesulitan, mau buku bagus tapi mahal. Jadi lebih milih beli buku bajakan, yang murah dan sesuai budget. Ya jadi seperti solusi alternatif buat orang yang mau baca buku, tapi punya budget yang sedikit," ujar Ardhi.
Sama halnya dengan Lioni, mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri ini juga mengaku pernah membeli buku bajakan. Perempuan berusia 21 tahun ini mengaku bahwa ia telah dua kali membeli buku bajakan. Alasannya adalah terpaksa, karena buku kuliah yang diperlukannya terkadang terlalu mahal atau terkadang persediaan buku asli yang dibutuhkannya sulit untuk ditemukan.
Lioni mengaku bahwa ia biasanya membeli buku ataupun novel asli di toko-toko buku ternama. Ia pun sebenarnya merasa bersalah karena ia sempat membeli buku bajakan.