Mohon tunggu...
arry wastuti
arry wastuti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger

Lahir di Jakarta, besar di Bandung, tinggal di Jogja. Suka bercerita juga di www.iniarry.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Music Over Nations": Sebuah Konferensi Internasional Yang Berupaya Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik

3 Juli 2021   16:01 Diperbarui: 3 Juli 2021   20:24 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemaparan oleh pembicara pertama di sesi 1, Prof. Margaret Kartomi - Monash University, Australia. (Dok : pribadi)

Marimba, Balafon, Ranat Ek, Tifa, Bansuri, Suling, Daegum. Berapa banyak dari kita yang tahu bahwa itu adalah beberapa dari puluhan alat musik yang gambarnya terpatri dalam relief Candi Borobudur? Entah sudah berapa kali saya berkunjung ke Candi Borobudur, tapi keberadaan relief tentang alat-alat musik ini baru saya ketahui sekarang. 

Sebuah fakta yang menarik, bahwa di masa 13 abad silam Borobudur pusat musik dunia adalah sebuah keniscayaan, yang terbukti dengan keberadaan 226 relief musik dalam 40 panel relief yang terpahat di Candi Borobudur.

Pada 24 Juni 2021 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menggelar Konferensi Internasional Sound of Borobudur "Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik" secara luring dan daring di Balkondes Karangrejo, Magelang, Jawa Tengah. Konferensi Internasional ini terselenggara berkat kerjasama Kemenparekraf dengan Yayasan Padma Sada Svargantara sebagai inisiator Sound of Borobudur Movement, dan Kompas Group.  

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, dalam sambutan pembukaan di acara ini mengatakan, "Kita banyak belajar melalui Borobudur, salah satu keajaiban dunia yang menyimpan 1.460 relief. Narasi visual panel relief tersebut sarat akan makna ajaran nilai hidup, moral, pengetahuan, agama, sejarah, budaya, kepemimpinan, dan tentunya seni, termasuk musik." 

Lebih lanjut Sandiaga menyebutkan, relief-relief tersebut menegaskan bahwa pada masyarakat Jawa kuno di tahun 700-800 masehi seni musik telah melekat pada kegiatan ritual upacara, budaya, dan hiburan masyarakat sebagai media ekspresi, komunikasi, dan diplomasi.

Konferensi Internasional Sound of Borobudur "Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik" ini menghadirkan paparan dan diskusi dari para narasumber yang merupakan pakar dan mereka yang berpengalaman dalam bidang musik, etnomusikologi, cagar budaya tak benda, pariwisata, dan seni budaya.

Konferensi yang terbagi menjadi dua sesi ini juga menghadirkan ahli dari akedemisi dan birokrat yang menguasai industri kreatif seni musik dan ekonomi kreatif, asosiasi pariwisata, dan praktisi wisata seni budaya. 

Sesi Pertama Konferensi Internasional Sound of Borobudur "Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik"

Sesi pertama konferensi ini bertopik "Merangkai kembali keterhubungan antarbangsa melalui alat musik yang terpahat di relief Candi Borobudur", dan menghadirkan sejumlah pembicara, yaitu Prof. Margaret Kartomi AM, FAHA, Dr. Phil (Monash University, Australia), Addie M.S (pendiri Twilite Orchestra), dan Tantowi Yahya (duta besar Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, Tonga, Cook Island, dan Niue, serta Duta Besar Keliling untuk wilayah Pasifik). 

Hadir sebagai pembicara pertama, Prof. Margaret Kartomi memaparkan aspek etnomusikologi yang diharapkan dapat menunjukkan jejak sejarah di masa lalu mengenai keterhubungan antarbangsa melalui musik, khususnya terkait dengan relief alat musik yang ada di Candi Borobudur. 

Dalam slide presentasinya Prof. Margaret Kartomi memperlihatkan aneka alat musik yang terpahat pada relief Candi Borobudur. Menurut Prof. Margaret, alat musik yang terdapat pada relief Candi Borobudur diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu : alat musik yang dipetik, contohnya lutes; alat musik yang dipukul, contohnya drums/gendang; dan alat musik yang ditiup, contohnya flutes/suling dan oboes/sarunai.

Sementara itu, di Candi Borobudur tidak ditemukan relief alat musik yang termasuk dalam klasifikasi alat musik yang ditarik (menggunakan senar) seperti Jews harp/genggong, dan alat musik yang diputar seperti bullroarers/gasing.

Pemaparan oleh pembicara pertama di sesi 1, Prof. Margaret Kartomi - Monash University, Australia. (Dok : pribadi)
Pemaparan oleh pembicara pertama di sesi 1, Prof. Margaret Kartomi - Monash University, Australia. (Dok : pribadi)

Pada paparan presentasinya Prof. Margaret juga menunjukkan bahwa alat-alat musik di relief Candi Borobudur memang dipakai atau diadaptasi bentuknya oleh suku-suku di Indonesia seperti conch shell trumpet (keong laut) yang digunakan oleh Suku Anak Laut di Kabupaten Natuna, dan juga suku bangsa di negara lain seperti misalnya mrdangga, yaitu alat musik pukul yang cukup populer di India. 

Di Indonesia, musik dan tari-tarian memegang peranan penting dalam berbagai acara kemasyarakatan, seperti misalnya upacara adat bersih desa, upacara adat perkawinan, dll. Dalam upacara-upacara tersebut berbagai alat musik acapkali hadir sebagai bagian dari rangkaian acara, seperti misalnya pada upacara adat perkawinan Sumatera Selatan, ada pertunjukan pencak silat yang diiringi alat musik rebana. 

Setelah pemaparan oleh Prof. Margaret, sesi ini dilanjutkan dengan menghadirkan pembicara kedua yaitu Addie MS. Pendiri Twilite Orchestra ini mengangkat topik "Bagaimana musik dapat dibawa ke posisi strategis sebagai bahasa pemersatu dan analogi perbedaan sebagai kekayaan yang membentuk harmoni."

Menurut Addie MS, perbedaan yang biasanya dalam banyak hal itu dihindari, namun dalam musik perbedaan itu justru dapat menciptakan harmoni. 

Misalnya dalam sebuah orkestra yang terdiri dari puluhan musisi, coba bayangkan jika seluruh musisi hanya memainkan biola saja atau flute saja, maka konser orkestra tersebut tidak akan terdengar indah. Ketika di dalam orkestra tersebut para musisi memainkan aneka alat musik yang berbeda-beda, maka terciptalah rangkaian nada yang harmonis dan indah didengar. 

Pemaparan presentasi oleh Addie MS. (Dok : pribadi)
Pemaparan presentasi oleh Addie MS. (Dok : pribadi)

Pembicara terakhir pada sesi ini adalah Tantowi Yahya yang memaparkan peranan musik dalam hubungan diplomasi antarnegara. Duta besar Indonesia untuk Selandia Baru dan Wilayah Pasifik ini menjelaskan bahwa selama bertugas sebagai duta besar ia menggunakan musik sebagai alat diplomasi. 

Hal ini bukan hanya karena ia adalah seorang musisi (penyanyi country), namun lebih dari itu ia merasa adanya kesamaan frekuensi ketika berkomunikasi menggunakan sarana musik.

Lebih lanjut Tantowi memaparkan bagaimana musik bisa berguna dalam diplomasi, yaitu karena musik adalah bahasa yang universal; musik mampu menghilangkan hambatan dalam perbedaan budaya; dan musik pun mampu memperlancar kerjasama, saling pengertian, dan saling menghormati di antara bangsa-bangsa. 

Sesi Kedua Konferensi Internasional Sound of Borobudur "Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik"

Sesi kedua pada konferensi internasional ini mengusung topik "Membangun sound destination sebagai destinasi wisata baru, dan mengimplementasikan Borobudur sebagai sebuah warisan yang harus dikerjakan." 

Pada sesi ini hadir beberapa pembicara yaitu Prof. Dr. M. Baiquni, pakar geografi pembangunan, pendiri Sustainable Tourism Action Research Society; Dr. Muhammad Amin, Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Kemenparekraf RI; Moe Chiba, Head of Culture Unit UNESCO; dan Sulaiman Shehdek, perwakilan dari VITO (Visit Indonesia Tourism Officer) Singapore. 

Prof. Baiquni sebagai pembicara pertama di sesi kedua ini memaparkan presentasinya yang berjudul "Sound of Borobudur as an Alternative New Destination in the World of Tourism Trough the Perspectives of Tourism Studies". 

Menurut Prof. Baiquni, pariwisata yang berkelanjutan di era digital ini menghadapi banyak tantangan, di antaranya adalah penerapan teknologi dalam bisnis pariwisata yang menunjang kebutuhan masyarakat yang melek digital, bisnis pariwisata yang tidak hanya mencari keuntungan materi semata namun juga tetap memperhatikan pelestarian lingkungan, upaya meningkatkan peran UMKM dalam industri pariwisata, upaya melibatkan lebih banyak peran wanita di dalam pariwisata, dan bagaimana bisnis pariwisata bisa memberikan manfaat lebih bagi daerah di sekitar objek wisata. 

Pembicara kedua, Dr. Muhammad Amin, dalam presentasinya mengemukakan tentang AKSILARASI (Aksi, Selaras, dan Sinergi), yaitu sebuah program yang merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara mendorong pelaku wirausaha di bidang socio creative untuk menciptakan produk-produk kreatif terutama di fase distribusi dan konsumsi. 

Muhammad Amin mengatakan bahwa Sound of Borobudur dan AKSILARASI akan dapat menciptakan gerakan dalam pembangunan pariwisata dan ekonomi kreatif dengan dukungan dari masyarakat. 

Pembicara selanjutnya, Moe Chiba dari UNESCO, membahas tentang situs sejarah yang ditetapkan sebagai world heritage sites oleh UNESCO. Candi Borobudur sebagai salah satu world heritage sites yang ditetapkan oleh UNESCO harus selalu dijaga keberadaan dan keutuhannya. 

Moe Chiba menyatakan keprihatinannya melihat situs-situs sejarah berusia ratusan tahun saat dikunjungi wisatawan dalam jumlah banyak, secara perlahan merusak kelestarian situs bersejarah tersebut. 

Ketika Moe Chiba menayangkan foto Angkor Wat Temple di Kamboja yang penuh oleh wisatawan yang berjejalan, hati saya langsung kecut membayangkan hal serupa terjadi di Candi Borobudur. Membayangkan jejak-jejak kaki wisatawan mengikis batu-batu lantai Candi Borobudur yang usianya sudah berabad-abad itu, rasanya kok sayang sekali. 

Untuk itu Moe Chiba mengingatkan agar pihak-pihak terkait juga memperhatikan lingkungan di sekitar objek wisata yang bisa ditawarkan pada wisatawan sehingga kegiatan pariwisata tidak hanya terpusat di objek wisatanya saja.

Menjelang berakhirnya sesi kedua, panggung acara dibuat meriah oleh penampilan Trie Utami dan para musisi Sound of Borobudur yang menampilkan permainan alat musik tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut Trie Utami ini adalah jam session di mana semua musisi pendukung acara memainkan alat musik bersama-sama secara spontan. 

Menutup sesi kedua konferensi internasional ini, hadir pembicara terakhir dari Visit Indonesia Tourism Officer Singapore, Sulaiman Shehdek, yang memberikan pemaparan tentang upaya menarik wisatawan Singapura untuk berkunjung ke Indonesia. Dari tahun ke tahun kunjungan wisatawan Singapura ke Indonesia terus meningkat. 

Menurut Sulaiman, warga Singapura senang mengunjungi Indonesia karena wisata alamnya yang indah dan tidak dimiliki oleh Singapura. Wonderful Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan Singapura untuk berkunjung ke Indonesia. 

Di masa depan pasca pandemi, Sulaiman optimis kunjungan wisatawan Singapura ke Indonesia tetap akan tinggi, mengingat kecenderungan perilaku berwisata orang di masa pasca pandemi adalah mencari destinasi wisata yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Dengan selesainya pemaparan oleh Sulaiman Shehdek, maka berakhirlah rangkaian acara konferensi kali ini. Acara kemudian ditutup dengan penyerahan cinderamata berisi buah karya pelaku UMKM di kawasan Candi Borobudur, kepada Prof. Baiquni dan Dr.Muhammad Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun