Hujan turun semakin deras. Damar tergeletak di trotoar yang dingin, tubuhnya menggigil hebat. Napasnya terputus-putus, kelopak matanya bergetar, tetapi ia tidak mampu membuka mata. Di kepalanya, sosok ibunya terus melayang, tersenyum lembut seperti dulu.
"Bu... tunggu aku..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun.
Di kejauhan, suara langkah kaki mendekat. Bayangan seseorang berhenti tepat di depan tubuh kecil yang terbaring lemah. Hening sesaat, sebelum suara berat seorang pria paruh baya terdengar, "Anak ini... masih hidup?"
Orang itu berjongkok, menempelkan tangannya ke leher Damar, mencari denyut nadi yang semakin melemah. Tatapannya penuh iba. Ia menoleh ke arah seorang wanita yang berdiri di sampingnya, memegang payung yang hampir terjatuh dari genggamannya.
"Kita harus menolongnya," kata wanita itu dengan suara gemetar.
Pria itu mengangguk, lalu tanpa ragu mengangkat tubuh Damar yang dingin dan basah kuyup. Anak itu ringan, terlalu ringan, seolah tak ada daging di tubuhnya. Wanita itu membuka pintu mobil mereka, dan dalam sekejap, Damar telah dibaringkan di dalamnya.
Sepanjang perjalanan, tubuh Damar tetap diam. Napasnya sesekali terdengar, tetapi sangat lemah. Wanita itu menggenggam tangannya yang dingin, merasakan betapa rapuhnya anak itu.
Setibanya di rumah sakit, dokter segera berlari mendekat, memeriksa tubuhnya. Damar langsung dibawa ke dalam ruang gawat darurat, meninggalkan pasangan suami istri itu di luar dengan hati yang berdebar.
Wanita itu menatap suaminya, matanya berkaca-kaca. "Dia masih kecil, bagaimana mungkin dunia sekejam ini padanya?"
Pria itu menghela napas panjang. "Kita lihat apakah Tuhan masih memberi kesempatan padanya..."