Wisnu mengguncang tubuh Agus. "Bangun, Gus! Tolong bangun!"
Agus membuka matanya dengan susah payah, darah mengalir dari pelipisnya. "Aku... nggak kuat, Wis... Kalian... harus terus ke puncak. Jangan tinggalkan aku di sini."
Boy menahan tangisnya. "Tidak! Kita akan turun sama-sama! Bertahan, Agus, tolong..."
Namun tubuh Agus perlahan melemah. Nafasnya memendek.
"Wisnu... Boy... Aku bersyukur bisa... jadi bagian dari perjalanan ini. Terima kasih... Jangan... salahkan... diri kalian...."
Satu hembusan napas terakhir terlepas. Tubuh Agus terkulai.
Wisnu berteriak penuh kepedihan, sedangkan Boy memeluk tubuh sahabatnya yang telah pergi.
Hujan mulai turun, membasahi ketiga tubuh yang kini tak lagi lengkap. Mereka mendaki untuk kebersamaan, namun harus berpisah di puncak yang seharusnya menjadi simbol kemenangan.
Beberapa saat setelah Agus menghembuskan nafas terakhirnya, Boy dan Wisnu hanya bisa terduduk dalam diam. Air mata mengalir deras, tercampur dengan hujan yang semakin deras. Wisnu menggenggam tangan Agus yang kini mulai membeku, berharap keajaiban terjadi.
Ketika malam tiba, suhu semakin jatuh. Wisnu mulai menggigil hebat, namun ia tetap menolak meninggalkan tubuh Agus. Boy yang kini tampak begitu rapuh hanya bisa memeluk sahabatnya yang tersisa dengan harapan dingin ini tak mengakhiri mereka juga.
"Boy... aku takut..." suara Wisnu bergetar, hampir tak terdengar. Boy hanya mengangguk pelan, menahan rasa takut yang sama, tak ingin memperlihatkan kelemahan.