Sumprit! Membaca artikel berjudul "Menulis di Kompasiana Sampai Mati" membuatku terpingkan-pingkan. Sampai-sampai bibir ndower ke samping kiri dan kanan.
Artikel anggitan sosok Kompasianer anarkis plus narsis karuan menyodok dan nangkring di kategori populer.Â
Kategori yang sering diburu mpok-mpok saat ngetik sembari nguleg sambal terasi rasa Korea, bahasa iklannya Korean flavored shrimp paste chili sauce.
Berbicara dan membicarakan Kompasianer anarkis plus narsis, banyak orang yang belum tahu bahwa sebenarnya pada dirinya melekat personal selling ekor landak berbulu bunglon.Â
Kelekatan ini cukup beralasan sebab melalui penegasan istilah pseudo, namanya bisa mewujud Felix Tani, Poltak, hingga Engkong (Ketua MPR Gang Sapi) dan penghunus Golok She Tan.
Anehnya, sosok yang mengaku memiliki ciri fisik perut buncit, pendek, dan pecicilan ini pernah mengaku bernama Lazarus Dina saat ikut membrojoli novel "Kapak Algojo dan Perawan Vestal". Bih, bisa dibayangkan narsisnya, jelas kebangetan!.
Kehadiran sosok anarkis plus narsis ini sering membuat ribut dan ribet di jagat media keroyokan Kompasiana. Baginya menulis dan menulis adalah kebebasan. Bebas berekspresi dan ngompori siapapun yang tiba-tiba muncul di pucuk mancung hidungnya (katanya, sih!).
Jangankan Kompasianer tengil seangkatan Om Acekkk dan Om Firdaus van Lebakwana, Admin Kompasianapun akan ia semprot dan rontokkan gigi-giginya jika berani unjuk debat dengannya.
Seluas dan selebar kolom komentar di Kompasiana, hanya ada empat sosok yang bisa mendinginkan panasnya api unggun di ubun-ubunnya yakni Pak Tjip, Bunda Rose, Bu Prih, dan Om Budi.
Kembali ke artikel yang ia anggit berjudul "Menulis di Kompasiana Sampai Mati", sebenarnya berbagi tips ringan tentang menulis yaitu "menulis itu sebenarnya berbicara, atau dibalik, berbicara itu sebenarnya menulis".